Lolos moderasi pada: 26 December 2015
“Ini bukan salahku.”
“Sudah jelas itu salah kamu, Wil. Ingat, kamu orang terakhir yang bertemu Rini. Setelah itu dia hilang entah ke mana, bak ditelan bumi.”
“Iya bener tuh.”
“Setuju.”
“Pasti ada sesuatu yang kamu katakan atau perbuat, sehingga Rini tidak mau lagi bertemu dengan kita.”
“Sudah jelas itu salah kamu, Wil. Ingat, kamu orang terakhir yang bertemu Rini. Setelah itu dia hilang entah ke mana, bak ditelan bumi.”
“Iya bener tuh.”
“Setuju.”
“Pasti ada sesuatu yang kamu katakan atau perbuat, sehingga Rini tidak mau lagi bertemu dengan kita.”
Sangat menyebalkan. Semua orang menyalahkanku atas kehilangan Rini, yang entah ke mana. Seperti kata Jaka, Rini hilang bak ditelan bumi. Tepat satu bulan sudah, kami tidak bertemu wanita yang terkenal paling manja di antara kami. Awalnya biasa, kami pikir Rini sedang sibuk dengan pekerjaannya, sehingga tidak ada waktu untuk berkumpul bersama. Terlebih, dia tipe orang yang terlalu fokus dengan pekerjaannya, kata orang-orang Rini itu workaholic, sehingga terkadang memang tidak ada waktu untuk sekedar berkumpul bersama.
Namun, ini sudah satu bulan lebih tidak ada kabar dari Rini. Hampir setiap hari kami mencoba menelepon atau sekedar mengirimkan pesan singkat via SMS, BBM, WA, atau semua jenis media sosial yang bisa kami gunakan untuk menghubungi wanita itu. Namun, tidak pernah ada tanggapan darinya. Bahkan, kami juga pernah datang ke rumahnya. Sekedar untuk memastikan kalau Rini baik-baik saja.
“Rininya ada Bu,” ujar Jaka, di depan pintu rumah Rini.
“Oh, Rini sedang pergi ke luar. Baru saja pergi,” sahut Ibu Rini.
“Kira-kira lama nggak bu keluarnya.”
“Wah, kurang tahu juga ya.”
“Okelah Bu, kami tunggu saja.”
“Ya udah tunggu di dalam saja kalau begitu.”
“Oh, Rini sedang pergi ke luar. Baru saja pergi,” sahut Ibu Rini.
“Kira-kira lama nggak bu keluarnya.”
“Wah, kurang tahu juga ya.”
“Okelah Bu, kami tunggu saja.”
“Ya udah tunggu di dalam saja kalau begitu.”
Satu jam pertama setidaknya kami masih kuat untuk menunggu kedatangan Rini. Rencananya, jika bertemu Rini, kami ingin bertanya, ke mana saja dia selama ini? Kenapa dia seolah menghindar dari kami. Jika kami melakukan kesalahan, kami bisa mendengar penjelasannya, dan kami akan meminta maaf kepadanya. Satu jam lewat lima belas menit. Gresi mulai gelisah. Lili tengah asyik mengobrol dengan ibunya Rini.
Obrolan seputar khas ibu-ibu, ya apalagi kalau bukan seputar tayangan infotainment. Mereka seakan lupa dengan keberadaan kami. Jaka terlihat melamun, entah apa yang dilamunkannya, tatapannya benar-benar kosong. Aku pun mulai merasa bosan, aku mainkan handphone-ku, dan sesekali mengirimkan pesan kepada Rini, berharap dia membalasnya.
“Aku pergi dulu ya,” mendadak Jaka bersuara dan semua mata orang-orang yang berada di rumah Rini tertuju kepadanya.
“Pergi ke mana?”
“Ada janji sama orang.”
Jaka pun berlalu meninggalkan kami, bahkan tanpa pamit dengan orangtua Rini. Lalu, satu per satu kami juga pergi.
“Nanti kalau Rini pulang kasih tahu ya Bu. Bilang kalau kami ke mari,” ungkap Lili kepada ibunya Rini.
“Iya, nanti Ibu sampaikan,” jawab Ibu Rini. Kami pun pulang dan meninggalkan sejuta tanda tanya hingga saat ini.
“Pergi ke mana?”
“Ada janji sama orang.”
Jaka pun berlalu meninggalkan kami, bahkan tanpa pamit dengan orangtua Rini. Lalu, satu per satu kami juga pergi.
“Nanti kalau Rini pulang kasih tahu ya Bu. Bilang kalau kami ke mari,” ungkap Lili kepada ibunya Rini.
“Iya, nanti Ibu sampaikan,” jawab Ibu Rini. Kami pun pulang dan meninggalkan sejuta tanda tanya hingga saat ini.
—
“Waktu itu kenapa kamu mendadak pulang, mana main nyelonong aja lagi pulangnya,” kataku kepada Jaka.
“Lah, waktu itu kan sudah saya bilang, ada janji sama orang. Nggak enaklah kalau dibatalin begitu saja,” jawab Jaka.
“Apa nggak bisa ditunda sebentar saja janjimu itu. Setidaknya sabar dikit, Rini juga bakal pulang. Ini teman kita sudah satu bulan nggak ada kabar, kamu malah mentingin janji yang nggak jelas dan pentingmu itu.”
“Loh, loh, kenapa ini jadi salah saya. Lagian, si Rini itu juga tidak jelas, main hilang begitu saja. Kalau kita ada salah, setidaknya dia kasih tahu kita, memangnya kita Tuhan bisa tahu perasaan dia.”
“Lah, waktu itu kan sudah saya bilang, ada janji sama orang. Nggak enaklah kalau dibatalin begitu saja,” jawab Jaka.
“Apa nggak bisa ditunda sebentar saja janjimu itu. Setidaknya sabar dikit, Rini juga bakal pulang. Ini teman kita sudah satu bulan nggak ada kabar, kamu malah mentingin janji yang nggak jelas dan pentingmu itu.”
“Loh, loh, kenapa ini jadi salah saya. Lagian, si Rini itu juga tidak jelas, main hilang begitu saja. Kalau kita ada salah, setidaknya dia kasih tahu kita, memangnya kita Tuhan bisa tahu perasaan dia.”
Suasana hening sejenak setelah semua orang mendegarkan kata-kata Jaka. “Eh, yang tadi belum kelar urusannya, kamu kan orang terakhir yang bertemu Rini. Jadi saya masih berpikir ini salah kamu,” sontak Jaka kembali bersuara dan mengajukan pertanyaan kepadaku. “Jadi ke mana kamu dan Rini, waktu itu?”
—
Pagi itu sebuah pesan singkat mendarat di handphone-ku.
“Lagi Dimana?”
“Di rumah, ada apa Rin?”
“Jalan-jalan yuk?”
“Ke mana?”
“Ke mana saja, jemput aku ya. Aku tunggu di rumah? Nggak ada tapi-tapi. Kalau nggak persahabatan kita putus.”
“Lagi Dimana?”
“Di rumah, ada apa Rin?”
“Jalan-jalan yuk?”
“Ke mana?”
“Ke mana saja, jemput aku ya. Aku tunggu di rumah? Nggak ada tapi-tapi. Kalau nggak persahabatan kita putus.”
Wanita satu ini memang suka sekali memaksaku. Dan anehnya, aku tidak pernah menolak satu pun permintaannya, mungkin karena bagiku, dia teman yang menyenangkan selama. Ketimbang Jaka yang selalu bersikap menyebalkan, atau Gresi yang selalu membosankan, terlebih lagi Lili yang tidak pernah nyambung kalau denganku. Aku juga tidak pernah berpikir untuk menjadi pacarnya, terlebih lagi pasangan hidupnya. Kalau sampai terjadi mungkin bakalan sangat merepotkan. Bisa-bisa aku menjadi pacar yang tertindas dan tiraniaya, karena harus menuruti semua kemauannya. Semakin naas kalau aku menjadi suaminya, bisa-bisa aku tergabung dalam ikatan suami-suami takut istri. Tapi, entahlah, aku selalu senang berada di dekatnya.
“Rini..” teriakku dari luar rumah Rini.
“Iya, sebentar,” sayup-sayup suaranya terdengar dari dalam rumah.
“Ayo, berangkat,” tiba-tiba Rini keluar dari dalam rumah.
“Iya, sebentar,” sayup-sayup suaranya terdengar dari dalam rumah.
“Ayo, berangkat,” tiba-tiba Rini keluar dari dalam rumah.
Kami pun berangkat dengan tujuan yang masih belum aku ketahui.
“Mau ke mana kita?” teriakku dari atas motor. “Terserah kamu saja,” jawabnya.
“Loh, kan kamu yang ngajakin aku jalan.”
“Iya, terserah kamu. Menurut kamu, di mana tempat kita bisa bersenang-senang.”
Sejenak aku terdiam, sembari berpikir, di mana tempat yang bagus untuk bersenang-senang, seperti kata Rini. Sepanjang jalan ku terus berpikir.
“Tadaa, Taman Hutan Pinus,” kami tiba di sebuah taman yang letaknya cukup jauh dari kota tempat kami tinggal.
“Mau ke mana kita?” teriakku dari atas motor. “Terserah kamu saja,” jawabnya.
“Loh, kan kamu yang ngajakin aku jalan.”
“Iya, terserah kamu. Menurut kamu, di mana tempat kita bisa bersenang-senang.”
Sejenak aku terdiam, sembari berpikir, di mana tempat yang bagus untuk bersenang-senang, seperti kata Rini. Sepanjang jalan ku terus berpikir.
“Tadaa, Taman Hutan Pinus,” kami tiba di sebuah taman yang letaknya cukup jauh dari kota tempat kami tinggal.
—
“Apa kamu mengajak Rini ke Taman Hutan Pinus,” sontak Jaka berteriak. Suaranya, bahkan membuat Gresi hampir saja menyemburkan kopi yang tengah diminumnnya.
“Iya, memang kenapa?”
“Ngapain kalian di sana?”
“Ya, cuma bersenang-senang, melihat pemandangan, menghirup udara segar. Iya, gitu aja.”
“Bohong, pasti ada yang lain, sehingga membuat Rini marah.”
“Waktu itu Rini kelihatan bagaimana?” tiba-tiba Lili menyela.
“Iya, waktu itu biasa saja. Dia terlihat menikmati pemandangan di sana. Rini terlihat ceria, seperti biasanya.”
“Tunggu-tunggu, urusan kami belum selesai,” Jaka memotong pembicaraan aku dan Lili.
“Ngapain kamu di sana dengan Rini?”
“Kan sudah aku jawab tadi.”
“Bohong. Pasti ada yang lain, yang kamu lakuin sama Rini.”
“Apaan sih kamu, Jak. Kenapa jadi emosional gini?”
“Karena dia cemburu,” suara pelan Gresi, seolah memecah kegaduhan suaraku dan Jaka.
“Apa.. Apa Gres, coba ulangin,” Lili bertanya.
“Iya, Jaka cemburu.”
“Oy.. Oy apa-apaan kamu. Siapa yang cemburu?” kata Jaka.
“Sudahlah Jak, untuk apa ditutupin. Sekarang ini aku justru curiga, Rini menjauh dari kita gara-gara kamu. Terakhir kali kita berjalan bertiga, dan kamu menyatakan cinta kan sama Rini.”
“Sok, tahu kamu.”
“Sudahlah mengaku saja, kamu kan pernah curhat sama aku, bilang kalau kamu cinta sama Rini, cuma takut untuk menyatakannya. Ah, sudahlah, untuk apa ditutupi lagi. Sekarang ini yang terpenting bagaimana bisa ketemu lagi sama Rini. Dan kita minta maaf kalau memang ada yang salah,” ungkap Gresi. Jaka terdiam sejenak. Wajahnya mendadak lesu, sehingga menutupi amarahnya yang menggelora, saat mencoba menghakimiku.
“Iya, memang kenapa?”
“Ngapain kalian di sana?”
“Ya, cuma bersenang-senang, melihat pemandangan, menghirup udara segar. Iya, gitu aja.”
“Bohong, pasti ada yang lain, sehingga membuat Rini marah.”
“Waktu itu Rini kelihatan bagaimana?” tiba-tiba Lili menyela.
“Iya, waktu itu biasa saja. Dia terlihat menikmati pemandangan di sana. Rini terlihat ceria, seperti biasanya.”
“Tunggu-tunggu, urusan kami belum selesai,” Jaka memotong pembicaraan aku dan Lili.
“Ngapain kamu di sana dengan Rini?”
“Kan sudah aku jawab tadi.”
“Bohong. Pasti ada yang lain, yang kamu lakuin sama Rini.”
“Apaan sih kamu, Jak. Kenapa jadi emosional gini?”
“Karena dia cemburu,” suara pelan Gresi, seolah memecah kegaduhan suaraku dan Jaka.
“Apa.. Apa Gres, coba ulangin,” Lili bertanya.
“Iya, Jaka cemburu.”
“Oy.. Oy apa-apaan kamu. Siapa yang cemburu?” kata Jaka.
“Sudahlah Jak, untuk apa ditutupin. Sekarang ini aku justru curiga, Rini menjauh dari kita gara-gara kamu. Terakhir kali kita berjalan bertiga, dan kamu menyatakan cinta kan sama Rini.”
“Sok, tahu kamu.”
“Sudahlah mengaku saja, kamu kan pernah curhat sama aku, bilang kalau kamu cinta sama Rini, cuma takut untuk menyatakannya. Ah, sudahlah, untuk apa ditutupi lagi. Sekarang ini yang terpenting bagaimana bisa ketemu lagi sama Rini. Dan kita minta maaf kalau memang ada yang salah,” ungkap Gresi. Jaka terdiam sejenak. Wajahnya mendadak lesu, sehingga menutupi amarahnya yang menggelora, saat mencoba menghakimiku.
“Iya, aku cinta sama Rini,” ujar Jaka. “Puas kalian.”
“Hmm.. Sudah ku duga,” kata Lili. “Aku sudah tahu, kalau kamu memang cinta sama Rini, perhatian yang kamu kasih ke dia sudah menyiratkan semuanya. Dan kamu selalu cemburu, karena Rini lebih dekat dan sering menghabiskan waktu bersama Wili.”
“Sudah tidak usah dijelaskan. Kalian hanya membuatku tambah kesal saja.”
“Hahaha… Jadi kamu suka Rini, kenapa aku tidak menyadarinya, dan kenapa kamu tidak kasih tahu. Hahaha..” aku tertawa lepas, seakan lepas dari penghakiman.
“Diam kau.”
“Haha .. tenang Jaka, aku tidak ada hubungan apa-apa, selain teman dengan Rini, sama saja seperti kamu, Lili, dan Gresi. Kalau kamu cinta Rini, ya tidak masalah, aku pribadi pasti mendukung,” ungkapku. “Sekarang pertanyaannya, kamu benar menyatakan cinta sama Rini, waktu terakhir kali bertemu?”
“Iya, saat itu, aku kami tinggal berdua. Dan Gresi aku suruh pulang. Maaf ya gres.”
“Haha, santai bro,” kata Gresi.
“Saat itu aku langsung menyatakan perasaanku selama ini.”
“Kenapa kamu dan Rini tidak kasih tahu. Jangan-jangan Rini takut dimintai traktiran makan-makan lagi. Hahaha,” ungkap Lili. “Makanya tidak mau bertemu kita.”
“Waktu itu, Rini bilang tidak usah kasih tahu siapa-siapa dulu. Katanya takut merusak suasana persahabatan kita.”
“Kalian, so much drama sekali,” kataku.
“Ah sudah, ayo kita pulang. Sudah sore juga, dari pada aku semakin malu dibully kalian,” Jaka mendadak mengajak pulang. “Besok kita pikirkan lagi cara lain untuk bertemu Rini.”
Langit mulai senja, kami bergegas meninggalkan kedai kopi tempat kami biasa menghabiskan waktu bersama, termasuk bersama Rini. Terlebih, awan kelabu tanda mendung, menambah gelap suasana di sana.
“Hmm.. Sudah ku duga,” kata Lili. “Aku sudah tahu, kalau kamu memang cinta sama Rini, perhatian yang kamu kasih ke dia sudah menyiratkan semuanya. Dan kamu selalu cemburu, karena Rini lebih dekat dan sering menghabiskan waktu bersama Wili.”
“Sudah tidak usah dijelaskan. Kalian hanya membuatku tambah kesal saja.”
“Hahaha… Jadi kamu suka Rini, kenapa aku tidak menyadarinya, dan kenapa kamu tidak kasih tahu. Hahaha..” aku tertawa lepas, seakan lepas dari penghakiman.
“Diam kau.”
“Haha .. tenang Jaka, aku tidak ada hubungan apa-apa, selain teman dengan Rini, sama saja seperti kamu, Lili, dan Gresi. Kalau kamu cinta Rini, ya tidak masalah, aku pribadi pasti mendukung,” ungkapku. “Sekarang pertanyaannya, kamu benar menyatakan cinta sama Rini, waktu terakhir kali bertemu?”
“Iya, saat itu, aku kami tinggal berdua. Dan Gresi aku suruh pulang. Maaf ya gres.”
“Haha, santai bro,” kata Gresi.
“Saat itu aku langsung menyatakan perasaanku selama ini.”
“Kenapa kamu dan Rini tidak kasih tahu. Jangan-jangan Rini takut dimintai traktiran makan-makan lagi. Hahaha,” ungkap Lili. “Makanya tidak mau bertemu kita.”
“Waktu itu, Rini bilang tidak usah kasih tahu siapa-siapa dulu. Katanya takut merusak suasana persahabatan kita.”
“Kalian, so much drama sekali,” kataku.
“Ah sudah, ayo kita pulang. Sudah sore juga, dari pada aku semakin malu dibully kalian,” Jaka mendadak mengajak pulang. “Besok kita pikirkan lagi cara lain untuk bertemu Rini.”
Langit mulai senja, kami bergegas meninggalkan kedai kopi tempat kami biasa menghabiskan waktu bersama, termasuk bersama Rini. Terlebih, awan kelabu tanda mendung, menambah gelap suasana di sana.
“Eh..”
“Ada apa Wil?” Gresi bertanya kepadaku.
“Ada sms dari Rini.”
“Iya, ni baru masuk ke hp-ku,” kata Lili.
“Lah, di hp-ku nggak masuk,” sahut Jaka.
“Yaelah, hp kamu kan lemot Jaka,” jawab Gresi. “Hahaha..”
“Ada apa Wil?” Gresi bertanya kepadaku.
“Ada sms dari Rini.”
“Iya, ni baru masuk ke hp-ku,” kata Lili.
“Lah, di hp-ku nggak masuk,” sahut Jaka.
“Yaelah, hp kamu kan lemot Jaka,” jawab Gresi. “Hahaha..”
“Halo Genks, lama tidak bertemu, sudah satu bulan mungkin hehehe.. Maaf ya ngilang begitu aja. Pasti Jaka bilang, hilang bak ditelan bumi. Aku sayang kamu Jaka. I Love you so much.”
“Cieeeeee,” semua serentak mengatakannya, kecuali Jaka.
“Hadeehh, udah lanjutin bacanya Wil,” kata Jaka.
“Iya,” jawabku.
“Pokoknya harus makan-makan Jak,” ungkap Lili.
“Aseeekkk, makan.. makan.. makan,” sahut Gresi.
“Sudah-sudah, okeeehh, aku lanjutin bacanya.”
“Hadeehh, udah lanjutin bacanya Wil,” kata Jaka.
“Iya,” jawabku.
“Pokoknya harus makan-makan Jak,” ungkap Lili.
“Aseeekkk, makan.. makan.. makan,” sahut Gresi.
“Sudah-sudah, okeeehh, aku lanjutin bacanya.”
“Aku harus pergi, aku juga sudah resign dari kerjaan. Aku mau ngelanjutin S2 di London, kebetulan dapat beasiswa. Maaf aku nggak sanggup harus mengucapkan selamat tinggal kepada kalian. Wili makasih ya, selalu jadi teman yang baik buat aku, selalu membuat keceriaan di dalam hidupku. Gresi juga, selalu menjadi tempat bercerita yang baik. Lili makasih selalu jadi teman, sekaligus udah aku anggap seperti Kakak sendiri, karena selalu mengajariku banyak hal, termasuk mengajariku untuk jadi orang yang lebih dewasa. Sekarang aku sedang dalam perjalanan ke London. Jaga diri kalian, dan persahabatan kita selama ini. Suatu saat kita pasti kumpul lagi. Aku sayang kalian. Dan cinta Jaka. –Rini.”
Semua terdiam. Langit yang dari tadi mendung, seketika menurunkan hujannya, tepat di tengah duka yang menyelimuti Kami. Itu terakhir kalinya kami bertemu Rini, entah kapan bisa bertemu lagi, terlebih nomor handphone yang kami ketahui, tidak pernah aktif lagi. Ini sangat menyedihkan bagi kami. Selamat jalan Rin, semoga sukses di sana. Kamu teman terbaik kami.
“I Love You, Rini.”
Cerpen Karangan: William Andri
Facebook: https://www.facebook.com/william.andri
Alamat: Kompleks Beliung Indah RT.11 No.38 Kota Jambi
Email: dajangandri[-at-]rocketmail.com
William Andri, lahir di Jambi pada tanggal 8 Mei 1990. Penulis merupakan anak pertama dari dua orang bersaudara. Penulis memulai pendidikan dasar pada tahun 1997 di SD Negeri 150 Kota Jambi, selama 6 tahun dan tamat pada tahun 2003. Kemudian penulis melanjutkan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama di SMP Negeri 16 Kota Jambi selama 3 tahun.
Facebook: https://www.facebook.com/william.andri
Alamat: Kompleks Beliung Indah RT.11 No.38 Kota Jambi
Email: dajangandri[-at-]rocketmail.com
William Andri, lahir di Jambi pada tanggal 8 Mei 1990. Penulis merupakan anak pertama dari dua orang bersaudara. Penulis memulai pendidikan dasar pada tahun 1997 di SD Negeri 150 Kota Jambi, selama 6 tahun dan tamat pada tahun 2003. Kemudian penulis melanjutkan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama di SMP Negeri 16 Kota Jambi selama 3 tahun.
Setelah itu penulis melanjutkan sekolah selama 3 tahun di SMA Negeri 4 Kota Jambi dan tamat pada tahun 2008. Penulis terdaftar sebagai mahasiswa Universitas Jambi Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan Jurusan Pendidikan Matematika pada tahun 2009. Tepat pada tanggal 27 November 2013 penulis berhasil memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Matematika. Lalu, langsung melanjutkan pendidikan di Pascasarjana Pendidikan Matematikan Universitas Jambi hingga saat ini.
Sign up here with your email
ConversionConversion EmoticonEmoticon