Kematian 12 Penari





Sudah saatnya, setelah sekian lama..”


Suara serak itu sayup-sayup terdengar. Langkah kakiku berusaha ku pelankan. Aku tak ingin membuatnya berbuat yang tidak-tidak padaku. Kamarnya sukses ku lewati tanpa sepengetahuannya dan menemukan Menzel yang telah siap dengan gaun keemasan. Aku memberinya isyarat untuk segera pergi ke acara dansa di pernikahan Leona. Jane, gadis itu.. selalu menyulut pertikaian padaku. Aku mulai paham saat Nyonya Clemie memberitahuku untuk tak berbangga diri setelah terpilih menjadi pedansa untuk acara besar di sebuah stasiun televisi, agar tak membuat Jane terbakar kedengkian. Tapi gadis itu memang telah memperlihatkan kebenciannya. Jane terkadang kehilangan kendali. Ia menjerit-jerit di kamarnya, membuat seluruh penghuni asrama sanggar tari ini ketakutan.


“Kalian akan pergi?” tanya Nyonya Clemie ketika kami tiba di teras. Ia duduk termenung. Wajahnya pucat dan matanya memerah. “Ya, ini pernikahan temanku, Nyonya..”
“Bagus..” jawabnya lirih nyaris tak terdengar. Wanita itu terlihat sedang tidak sehat. Mungkin penyakit yang menyerang kepalanya itu kambuh lagi. Aku harap wanita itu baik-baik saja. Wanita baik di balik kepiawaian menari kami.





Pesta dansa berakhir menyenangkan. Aku begitu menikmati pesta dansa ini bersama Nicholas, kekasihku. Kali ini Nicholas tampak sangat mengagumkan. Aku tersenyum, lalu kembali mengedarkan pandanganku ke penjuru ruangan yang penuh hiasan. Ku bulatkan mataku ketika menangkap seseorang yang berdiri di dekat pintu. Ia bergerak cepat, sebelum sempat ku kenali siapa dia, tapi aku yakin aku mengenalnya. Jantungku berdetak kencang ketika memikirkan sebuah pisau yang digenggam wanita itu. Perlahan ku buka pintu itu. Tak ku temukan siapa pun. Pandanganku beredar di sekitar pintu dan berpaut pada tetesan cairan di lantai. Sedikit ragu, akhirnya ku cium cairan merah itu. Darah! Ya, ini darah!


“Menzel, ayo kita pulang.” Aku segera menyeret tangan Menzel dan tak memedulikan Nicholas yang terheran.
“Anna!” panggil Nicholas cemas.
“Maaf Nic, aku harus pulang.”





Asrama tampak sepi. Ku lirik jam tanganku yang menunjukkan malam telah semakin larut. Bocornya ban taksi yang ku tumpangi membuat perjalanan terhambat, sementara kecemasanku telah menumpuk di otak. Menzel berjalan cepat menuju pintu, sementara aku masih menjelajahi sekeliling halaman. Entah mangapa, ada aura yang tak wajar di sini. Bayangan wanita yang menyusup dalam pesta tadi kembali mengusikku.


“Halo semua. Kalian belum tidur? Ah, tumben..” seloroh Menzel seraya membanting bokongnya ke sofa di pojok dinding. Aku menyusul masuk, dan ku dapati kesembilan temanku sedang duduk rapi di sofa panjang, tanpa Jane. Mereka semua telah megenakan piyama, itu artinya mereka telah bersiap tidur, tapi mengapa mereka malah duduk di sini. Mereka menunduk dalam, hingga wajah mereka tertutupi oleh rambut. Tiba-tiba bulu kudukku berdiri. Ada getaran aneh menyusup dalam tubuhku.


Malam ini memang aneh. Wanita di pesta itu, dan teman-temanku yang tampak sangat aneh. Menzel yang telah mengantuk tak menyadari hal itu. Bahkan kini ia telah tertidur di sofa. “Kalian sedang apa di sini?” tanyaku dengan suara bergetar. Tak ada yang menjawab. Beberapa saat hanya hening. Hingga aku dikejutkan oleh sesuatu yang baru saja melintas di belakangku. Ku toleh dengan cepat. Tak ada siapa pun. Aku hanya mendapati halaman gelap.


Suara isakan dan jeritan tiba-tiba mengaung di seluruh ruangan, serasa menusuk telingaku. Sambil menutup telinga, aku kembali menoleh teman-temanku yang tengah menjerit dan menangis sekuatnya. Mereka meronta, hingga wajah mereka terlihat jelas. Wajah yang berbeda dari biasanya. Pucat pasi, dan membiru. Tangan dan kaki mereka pun memucat. Mereka berdiri dan terus meronta, mendekat ke arahku, seraya mengulurkan tangan. “Ada apa ini?” tanya Menzel yang terbangun. Ia segera berdiri dengan gemetaran melihat tingkah aneh mereka.


Jlep!


“Menzel!” pekikku histeris ketika sebuah pisau yang melayang dari pintu tengah, tepat mengenai dada Menzel. Gadis itu terkejut sesaat sebelum menyadari dadanya berlumuran darah. Kemudian ia limbung ke lantai. Napasnya tersengal. “Menzel, ku mohon bertahanlah,” ucapku dengan linangan air mata. Ku pangku sahabatku itu, namun napasnya terlalu lemah, hingga akhirnya ia benar-benar tak bernapas. Aku tak mengerti, apa yang sebenarnya terjadi? Padahal tak tampak siapa pun di ruang tengah.


Belum tuntas aku berpikir asal pisau yang menghujam dada Menzel, suara isakan dan jeritan teman-temanku kembali membuat telingaku serasa hendak meledak. Mereka semakin mendekat, hingga dapat ku lihat wajah mereka. Darah! Astaga, mereka menangis darah! Aku tertegun, hingga kembali terbelalak melihat mereka yang lebur, seperti debu yang yang tertiup angin. Kemudian hanya hening. Tak ada lagi siapa pun selain aku, dan mayat Menzel.


Aku berusaha mengatur napasku. Apa yang terjadi dengan teman-temanku, aku harus mencari tahu. Tak ingin membuang waktu, aku segera berdiri dan memeriksa seluruh asrama. Ku jelajahi kamar temanku satu per satu. Rapi. Tak ada tanda-tanda pemberontakan atau apa pun. Kamar mereka tetap seperti biasanya. Dengan was-was, aku membawa pisau yang tertancap di dada Menzel, bersiap jika ada pembunuh atau perampok di sekitar asrama. Namun tak ada tanda adanya orang lain. Asrama benar-benar sepi, hingga suara jangkrik di halaman terdengar nyaring. Kosong. Tak ada siapa pun, semua kamar tetap rapi, berarti tak ada perampokan. Aku menuju kamar Jane. Kosong. Jane pun tak ada. Ku teruskan langkahku menuju ruang makan. Pintu ku buka perlahan.


“Aaaaaaa!!!”


Aku seketika menutup mulutku. Sendi-sendi tubuhku terasa sangat lemah hingga aku terduduk di lantai. Dan aku ingin muntah. Tepat di depanku, potongan tubuh gadis-gadis berserakan di lantai. Kepala mereka terpisah. Darah berhamburan di mana-mana. Anggota tubuh mereka terpotong dan berserakan. Dada dan perut mereka terbelah. Isi perut mereka mencuat ke lantai. Aku mengenali wajah mereka. Mereka adalah kesembilan teman-temanku. Jadi, siapa yang tadi di ruang depan? Apakah arwah mereka? Mungkinkah mereka tadi meminta tolong? Dengan sisa tenaga dan rasa mual yang semakin menjadi, aku mencoba memeriksa mereka. Jantung mereka hilang. Siapa yang melakukan ini? Mungkinkah Jane yang memang sudah tak waras lagi?


Aku terkejut oleh suara berisik dari luar asrama. Aku mendekat ke jendala, mengintipnya. Namun gelap malam membuat pandanganku tak jelas. Hanya terlihat sebuah bayangan manusia tengah berjongkok di sekitar semak. “Jane! Aku tahu kau membenciku, tapi mengapa kau melakukan ini pada teman-teman lainnya? Apa kau ingin menjadi satu-satunya penari di sini? Lalu kenapa tak kau bunuh aku duluan?!” Aku meninggikan suaraku sambil berjalan mendekat ke bayangan manusia yang ku pastikan itu adalah Jane.


Baru beberapa langkah aku berjalan, tiba-tiba aku tersandung oleh sesuatu, dan lututku membentur tanah. Ku raba benda apa yang membuatku terjatuh tadi. Kaki! Segera ku keluarkan ponsel untuk menerangi wajah orang ini. Astaga! Jane! Matanya melotot dan mulutnya menganga. Lehernya tergorok namun belum sampai putus. Dadanya koyak, dan jantungnya lenyap. Jadi, siapa yang melakukan ini semua? Jlep! Aku terbelalak, menahan rasa nyeri di punggungku. Sebuah pisau menancap di sana. Dapat ku rasakan cairan hangat merembesi punggungku, sementara si pelaku terus mendorong pisau itu hingga terasa nyaris mengenai jantung. Dengan sisa kekuatan, ku toleh seseorang yang berdiri di belakangku.


“Aku butuh kalian untuk menyembuhkan penyakitku, Kanibal. Inilah saatnya, menuntaskan dahaga. Sudah lama aku ingin menyantap jantung kalian.” Nyonya Clemie tersenyum sinis. Darah memenuhi mulut dan dadanya. Tangan kirinya menggenggam jantung. “Aku tahu kau anak pintar. Niatku membuntutimu ke pesta Leona setelah membunuh anak-anak itu, memastikanmu menikmati pesta, justru membuatku hampir kau tangkap.” Aku mengernyit menahan nyeri, seraya teringat sosok pembawa pisau di pesta Leona. “Sekarang kau tak bisa berkutik. Matilah kalian!” Wanita itu kemudian terbahak sambil ditekannya pisau dalam punggungku.


Cerpen Karangan: Erniati
Facebook: Ernia D’twence
Latest
Previous
Next Post »