Cerpen Karangan: Intan Kezai
Hari itu tepat hari ketiga diadakannya perlombaan Amuk Teater Sumatera Utara dan juga pengumuman para pemenang dengan masing-masing kategori perlombaan. Kelompokku yaitu Teater Khansa hanya mengikuti dua kategori perlombaan yaitu, perlombaan teater dan baca puisi. Hari itu aku datang ke tempat itu untuk menyaksikkan hasil akhir perjuangan kami selama sebulan penuh kami berlatih dengan penuh kerja keras.Akhirnya sampai jugalah aku di tempat tujuanku dengan selamat, setelah melalui macetnya jalan kota Medan. Sesampainya aku di UNIMED aku langsung saja berjalan masuk menuju Gedung Serba Guna Unimed. Di sana sedang diadakan perlombaan yang sangat ditunggu-tunggu oleh pecinta kesenian dan sastra yaitu, AMUK TEATER SUMATERA UTARA. Dan aku salah satu orang yang mengikuti perlombaan itu. Aku dan kelompokku, tentu saja kami turut serta mendaftarkan diri atas nama sekolah kami dan ekskul tercinta kami yaitu, Teater Khansa SMK Negeri 1 Medan.
“siang pak! Jam berapa pengumumannya pak?” aku meraih kedua tangan guru-guruku dan seorang pelatih teaterku.
“masih lama ntan, paling… 2 jam lagi” sahut salah satu guruku yang tidak termasuk pembina di teater Khansa, namun dia turut ikut membantu sekaligus menyaksikan penampilan kami kemarin.
“oh… yang lainnya udah pada datang Pak Wendi?” tanyaku pada guru sekaligus pembina teater Khansa kami.
“belum, baru si Khael yang datang.”
“mana dia pak sekarang?” aku pun melirik kesana-kemari mencari keberadaan teman satu timku itu.
“itu di sana” sambil menunjuk ke arah deretan paling belakang di antara barisan kursi penonton. Dan dengan sigap, aku pun langsung berjalan menuju Khael yang sedang santai memperhatikan deretan piala-piala di depan panggung.
“masih lama ntan, paling… 2 jam lagi” sahut salah satu guruku yang tidak termasuk pembina di teater Khansa, namun dia turut ikut membantu sekaligus menyaksikan penampilan kami kemarin.
“oh… yang lainnya udah pada datang Pak Wendi?” tanyaku pada guru sekaligus pembina teater Khansa kami.
“belum, baru si Khael yang datang.”
“mana dia pak sekarang?” aku pun melirik kesana-kemari mencari keberadaan teman satu timku itu.
“itu di sana” sambil menunjuk ke arah deretan paling belakang di antara barisan kursi penonton. Dan dengan sigap, aku pun langsung berjalan menuju Khael yang sedang santai memperhatikan deretan piala-piala di depan panggung.
“woy Khael! Ngapain kau di sini? belum mulai pun acaranya, nggak bosen kau?” aku sambil melirik kesana-kemari memperhatikan sekeliling tempat duduk penonton yang memadat.
“nggak ah, biasa aja. Kau baru datang?”
“iya, barusan aja. Kau dari jam berapa datang ke sini?”
“dari jam dua belas aku datang ke sini” jawab Khael dengan santainya.
“ya… ampun, berarti udah lama kali kau nunggu di sini ya. Ish… ish… ish kasihannya” dengan nada bicara sedikit mengejek.
“nggak ah, biasa aja. Kau baru datang?”
“iya, barusan aja. Kau dari jam berapa datang ke sini?”
“dari jam dua belas aku datang ke sini” jawab Khael dengan santainya.
“ya… ampun, berarti udah lama kali kau nunggu di sini ya. Ish… ish… ish kasihannya” dengan nada bicara sedikit mengejek.
“eh… kau tadi ada nampak orang itu di gerbang?”
“orang itu siapa?” tanyaku penasaran karena tidak mengerti dengan beberapa kata ‘tidak baku’ yang barusan diucapkan oleh Khael.
“orang si Wahyu lah! Jadi siapa!” aku hanya senyum-senyum tipis tanpa merasa bersalah karena telah membuat kesal Khael.
“nggak ada aku nampak orang itu di gerbang. Mungkin aja nggak dateng orang itu.”
“oh… katanya mau dateng, tapi nyatanya nggak datang-datang. Macem mana lah si Wahyu itu” dan sekali lagi Khael menunjukkan raut kesal di wajahnya yang agak pas-pasan. Karena sudah bosan bercerita-cerita dengan Khael, aku pun kembali pergi menuju tempat semula aku berada yaitu, duduk di samping Pak Wendi, pak Ari dan Bunda Ibi.
“orang itu siapa?” tanyaku penasaran karena tidak mengerti dengan beberapa kata ‘tidak baku’ yang barusan diucapkan oleh Khael.
“orang si Wahyu lah! Jadi siapa!” aku hanya senyum-senyum tipis tanpa merasa bersalah karena telah membuat kesal Khael.
“nggak ada aku nampak orang itu di gerbang. Mungkin aja nggak dateng orang itu.”
“oh… katanya mau dateng, tapi nyatanya nggak datang-datang. Macem mana lah si Wahyu itu” dan sekali lagi Khael menunjukkan raut kesal di wajahnya yang agak pas-pasan. Karena sudah bosan bercerita-cerita dengan Khael, aku pun kembali pergi menuju tempat semula aku berada yaitu, duduk di samping Pak Wendi, pak Ari dan Bunda Ibi.
“pak! Pak Ahmad udah datang?” aku menanyakan salah satu pembina teaterku juga yang tak nampak batang hidungnya.
“udah, lagi di lantai dua Bapak itu.”
Pak Wendi menunjuk ke arah gedung serba guna lantai dua. Karena merasa kian lama semakin bosan, aku pun izin permisi ke guruku dan pelatihku untuk pergi mengambil biji saga yang bertebaran di taman dekat gedung serba guna. Aku memang kurang kerjaan, maklumilah karena aku merasa bosan.
“udah, lagi di lantai dua Bapak itu.”
Pak Wendi menunjuk ke arah gedung serba guna lantai dua. Karena merasa kian lama semakin bosan, aku pun izin permisi ke guruku dan pelatihku untuk pergi mengambil biji saga yang bertebaran di taman dekat gedung serba guna. Aku memang kurang kerjaan, maklumilah karena aku merasa bosan.
Sudah kira-kira satu setengah jam aku beserta guru-guru dan pelatihku menunggu di sana akhirnya 3 orang temanku yang lainnya datang juga yaitu, Wahyu, Ita, Nova, dan Ani. Namun karena mereka tidak melihat ke arah kami, aku pun terpaksa mengejar mereka.
“woy… Wahyu! Ita! Hei! Sini klen…” aku pun berlari sambil meneriaki nama mereka agar menoleh padaku.
“eh Intan, di mana Pak Wendi?” Ita langsung bertanya ketika melihat kehadiranku.
“itu! di sana kami dari tadi nungguin kalian. Lama kali kalian datang?” kami pun berjalan menuju tempat aku beserta guru-guru dan pelatihku tadi duduk bersama.
“woy… Wahyu! Ita! Hei! Sini klen…” aku pun berlari sambil meneriaki nama mereka agar menoleh padaku.
“eh Intan, di mana Pak Wendi?” Ita langsung bertanya ketika melihat kehadiranku.
“itu! di sana kami dari tadi nungguin kalian. Lama kali kalian datang?” kami pun berjalan menuju tempat aku beserta guru-guru dan pelatihku tadi duduk bersama.
“ini nih! Sih Wahyu inih! Ngasih jalan sesat aja” sambar Nova langsung, namun si Wahyu malah senyum-senyum nggak jelas.
“emang diapainnya kalian?”
“itulah, masa disuruhnya kami lewat gerbang ujung. Jadinya muter-muterlah kami nyari jalan ke sini. Udah gitu nggak mau lepas sepatu pula itu, apa nggak ngeselin kali kayak gitu. Eghk…” Ani pun berujar dengan dengan penuh semangat yang membara sambil mencubit pelan lengan Wahyu, yang menghasilkan ringisan pelan dari mulut Wahyu.
“emang diapainnya kalian?”
“itulah, masa disuruhnya kami lewat gerbang ujung. Jadinya muter-muterlah kami nyari jalan ke sini. Udah gitu nggak mau lepas sepatu pula itu, apa nggak ngeselin kali kayak gitu. Eghk…” Ani pun berujar dengan dengan penuh semangat yang membara sambil mencubit pelan lengan Wahyu, yang menghasilkan ringisan pelan dari mulut Wahyu.
“ya maaflah we, lagian kan malu lepas sepatu. Kalian aja yang kayak gitu, aku nggak usah ikut-ikutan” sambil nyengir-nyegir Wahyu menyalami guru-guru da pelatih kami dan dilanjutkan dengan teman-teman yang lainnya.
“mana yang lainnya hyu? Ada nampak kalian tadi?” Pak Wendi langsung saja bertanya ketika melihat kedatangan mereka semua.
“nggak tahu pak, nggak ada jumpa.”
Wahyu sambil meletakkan tasnya lalu langsung duduk santai, “aduuh… capenya.”
“mana yang lainnya hyu? Ada nampak kalian tadi?” Pak Wendi langsung saja bertanya ketika melihat kedatangan mereka semua.
“nggak tahu pak, nggak ada jumpa.”
Wahyu sambil meletakkan tasnya lalu langsung duduk santai, “aduuh… capenya.”
“loh, Ani ke mana sepatumu?” tanya Pak Ari ketika matanya menangkap sesuatu yang ganjil pada tiga orang gadis ABG yang baru saja datang bersama Wahyu, semuanya sama-sama tidak memakai sepatu.
“rusak sepatu si Ani pak, jadi biar sehati kami lepas jugalah sepatu kami. Sehati gituloh pak” sahut Ita sambil nyengir-nyengir jelek. Pak Ari hanya membalasnya dengan senyum menawannya. Hihihi.
“rusak sepatu si Ani pak, jadi biar sehati kami lepas jugalah sepatu kami. Sehati gituloh pak” sahut Ita sambil nyengir-nyengir jelek. Pak Ari hanya membalasnya dengan senyum menawannya. Hihihi.
“eh… Intan! mana si Khael? Kok nggak nampak dia?” tanya Wahyu setelah selesai merelaksasikan otot-ototnya yang kelelahan.
“oh iya ya, ke mana dia ya? Entahlah hyu, suka kali anak itu ngilang-ngilang.”
“eh, Wahyu Ita dan yang lainnya, Bunda mau nanya sama kalian, siapa di antara kalian yang semalam ikut konfrontasi. Jujur! Bunda nggak marah kok” ujar pelatih teater kami tiba-tiba.
“konfrontasi apa bun?” tanya Ani polos.
“itu loh yang semalam ikut-ikutan teriak, ‘nggaaak’ pas waktu Bunda telepon semalam, tentang properti kalian yang mau dipinjam sama anak SMP semalam.”
“oh… itu. Nggak ada bun, kami nggak ada ikut-ikutan.” Ani, Ita, dan Nova pun menyahuti hal itu dengan cepat.
“oh iya ya, ke mana dia ya? Entahlah hyu, suka kali anak itu ngilang-ngilang.”
“eh, Wahyu Ita dan yang lainnya, Bunda mau nanya sama kalian, siapa di antara kalian yang semalam ikut konfrontasi. Jujur! Bunda nggak marah kok” ujar pelatih teater kami tiba-tiba.
“konfrontasi apa bun?” tanya Ani polos.
“itu loh yang semalam ikut-ikutan teriak, ‘nggaaak’ pas waktu Bunda telepon semalam, tentang properti kalian yang mau dipinjam sama anak SMP semalam.”
“oh… itu. Nggak ada bun, kami nggak ada ikut-ikutan.” Ani, Ita, dan Nova pun menyahuti hal itu dengan cepat.
“kamu Wahyu, ada ikut-ikutan semalam? Jujur,” tekan Bunda Ibi sekali lagi.
“nggak ada bun, nggak ada saya ikut-ikutan semalam. Waktu pas Bunda telepon kemarin aja, Wahyu nggak lagi di situ” dengan santainya kata-kata itu lolos dari bibir Wahyu yang basah karena lidahnya yang tak henti-hentinya menjilati bibirnya sendiri.
“nggak ada bun, nggak ada saya ikut-ikutan semalam. Waktu pas Bunda telepon kemarin aja, Wahyu nggak lagi di situ” dengan santainya kata-kata itu lolos dari bibir Wahyu yang basah karena lidahnya yang tak henti-hentinya menjilati bibirnya sendiri.
Setelah menunggu lebih lama, akhirnya acara pengumuman para pemenang perlombaan pun dimulai. Dan para anggota Teater Khansa juga mulai berdatangan satu per satu. Hampir semua anggota kelompok teaterku turut ikut menyaksikkan acara itu dengan seksama tanpa merasa bosan sedikit pun, termasuk guru-guruku dan pelatih tercinta kami Bunda Ibi. Namun, lain halnya dengan aku, aku lebih memilih duduk sendirian di taman sambil membaca novel roman tentunya. Entah kenapa perasaanku seperti memaksaku untuk ‘lebih baik menunggu dipanggil sebagai pemenang teater sambil membaca novel’, hal itu membuatku merasa seperti… sangat santai. Sesekali aku memperhatikan para anggota teaterku dan guru-guruku takut-takut kalau mereka sudah duluan memegang piala kemenangan. Namun, sayangnya tidak. Belum.
“ah… lamanya pengumuman teater ini, sampai muak aku nunggu di sini” ungkapan kebosanan meluncur bebas dari mulutku lalu kembali membaca novel romanku.
Tiba-tiba Wahyu datang menghampiriku. Ngapain dia ke sini? Mungkin bosan nunggu plus cape kali ya. Hehe, pikirku sambil terus menatap Wahyu yang terus melangkahkan kakinya ke arahku lalu duduk di sampingku.
“cape pun aku nunggu di situ, lama kali pengumumannya” wajahnya pun langsung terlihat murung seketika. Benar dugaanku, kalau dia bosan plus cape.
“oh… kalau aku udah dari tadi capenya” lalu kembali lagi aku memperhatikan novelku.
Tiba-tiba Wahyu datang menghampiriku. Ngapain dia ke sini? Mungkin bosan nunggu plus cape kali ya. Hehe, pikirku sambil terus menatap Wahyu yang terus melangkahkan kakinya ke arahku lalu duduk di sampingku.
“cape pun aku nunggu di situ, lama kali pengumumannya” wajahnya pun langsung terlihat murung seketika. Benar dugaanku, kalau dia bosan plus cape.
“oh… kalau aku udah dari tadi capenya” lalu kembali lagi aku memperhatikan novelku.
Setelah kedatangan Wahyu, lalu datang lah Pak Wendi yang sepertinya juga bosan dan disusul dengan Pak Ahmad lalu Khael.
“kalian, tahun depan harus ikut semua perlombaan ya. Harus. Kecuali dance, nggak penting yang kayak gitu-gituan. Nanti jadi bencong pula si Wahyu, kan kasihan dia” Pak Ahmad pun ngikik-ngikik lalu duduk di sebelah kananku.
“ih… bapak ini, ada-ada aja” sahut Wahyu yang terlihat agak tersinggung dengan lelucon Pak Ahmad, namun dia pun tertawa juga.
“kalian, tahun depan harus ikut semua perlombaan ya. Harus. Kecuali dance, nggak penting yang kayak gitu-gituan. Nanti jadi bencong pula si Wahyu, kan kasihan dia” Pak Ahmad pun ngikik-ngikik lalu duduk di sebelah kananku.
“ih… bapak ini, ada-ada aja” sahut Wahyu yang terlihat agak tersinggung dengan lelucon Pak Ahmad, namun dia pun tertawa juga.
Kami yang berada di situ pun mulai berbincang-bincang panjang lebar tentang berbagai hal, sambil menunggu dengan tidak sabar pengumuman pemenang teater. Setelah waktu berlalu begitu lama, akhirnya sang pembawa acara sekaligus panitia acara tersebut akan mulai mengumumkan para pemenang dalam kategori teater. Dan hal itu langsung saja membuat aku dan Wahyu langsung bangkit dari zona nyaman kami menuju teman-teman kami yang lainnya.
Waktu terus bergulir, namun sampai saat itu juga tak satu pun kami di situ yang mendengar nama kami disebutkan sebagai penerima piala oleh pembawa acara. Hal itu membuat kami semua yang berada di situ harus berjuang mati-matian dalam doa, berharap-harap agar kami menang. Semua piala terus berlalu melewati nama Teater Khansa, tak ada satu pun piala yang menyebutkan nama itu. Doa pun semakin digunjingkan. Namun sayang, semuanya berlalu sia-sia. Hingga penyebutan nama pemenang juara umum pertama, kami tetap juga dihiraukan. Tangis pun mulai pecah saat itu juga, rasa kekecewaan, takut, dan kesal memenuhi hati kami semua yang saat itu hadir di tempat itu dan menyaksikan semuanya. Kami semua membalikkan tubuh kami lalu berjalan mendekati Pak Wendi yang masih duduk termenung di taman. Dengan perlahan-lahan kami memberitahukan padanya hasil dari itu semua.
“pak, kita…” dengan ragu-ragu Kak Ika mengatakannya terlebih lagi di dalam hatinya ada perasaan sedih yang teramat mendalam, karena para Kakak kelasku semua sudah mempersiapkan kata-kata yang mungkin akan mereka sampaikan jika mereka menang. Namun sayang, semuanya benar-benar tak sesuai dengan harapan.
“gimana hasilnya?” tanya Pak Wendi yang kelihatan penasaran ekspresi wajah kami semua.
“pak kita kalah, bahkan kita nggak dapat satu piala pun pak” ujar Kak Tine dengan nada lirih yang terdengar jelas jika engkau menajamkan telingamu. Saat itu juga, setelah mendengar ungkapan Kak Tine, Pak Wendi yang semula diam jadi semakin terdiam bahkan mungkin dia jadi lebih mirip sebuah patung sangking terdiamnya.
“gimana hasilnya?” tanya Pak Wendi yang kelihatan penasaran ekspresi wajah kami semua.
“pak kita kalah, bahkan kita nggak dapat satu piala pun pak” ujar Kak Tine dengan nada lirih yang terdengar jelas jika engkau menajamkan telingamu. Saat itu juga, setelah mendengar ungkapan Kak Tine, Pak Wendi yang semula diam jadi semakin terdiam bahkan mungkin dia jadi lebih mirip sebuah patung sangking terdiamnya.
Para Kakak kelasku yang ada di situ dengan spontan langsung meneteskan air mata yang tak mampu lagi mereka bendung. Aku melihat ke arah mata semua teman-temanku yang lainnya, dan dengan jelas aku dapat melihat mereka penuh perjuangan menahan air mata mereka, begitu juga diriku. Namun, sayangnya itu tidak bertahan lama, air mata pun terjatuh dengan mudahnya. Bunda Ibi, Pak Ahmad dan juga pak Ari pun mendatangi kami dan berdiri di depan kami menatap kami satu persatu. Satu persatu dari mereka memberikan kata-kata yang memotivasi kami untuk tetap tegar dan tidak langsung menyerah, namun kenyataannya malah sebaliknya semua perkataan mereka malah membuat kami semakin meneteskan linangan air mata.
Awalnya aku masih mampu menahan air mataku hingga tenggorokanku terasa nyeri, namun ketika pak Ari yang mulai berbicara dengan sejuta kata-kata bijaknya dan cerita-cerita penyemangatnya, air mata yang mulanya ku bendung sekuat tenaga jatuh tanpa diriku sendiri menyadarinya.
“udalah buat apa terus-terusan dipikirin, dalam sebuah perlombaan tentunya kita harus mengalami kekalahan dahulu yang nantinya akan menjadi pembelajaran bagi kita untuk memenangkannya di kemudian hari. Tahun depan kalian pasti menang” dengan senyum penyemangatnya yang diarahkannya kepada kami, membuatku semakin teriris.
“udalah buat apa terus-terusan dipikirin, dalam sebuah perlombaan tentunya kita harus mengalami kekalahan dahulu yang nantinya akan menjadi pembelajaran bagi kita untuk memenangkannya di kemudian hari. Tahun depan kalian pasti menang” dengan senyum penyemangatnya yang diarahkannya kepada kami, membuatku semakin teriris.
Setelah melakukan perbincang-bincangan sejenak untuk meredakan emosi sedih kami, tiba-tiba saja Pak Wendi mengatakan… “yuk, kita makan bakso bareng-bareng di simpang jalan Unimed itu. Bunda sama yang lainnya pergi aja duluan, nanti saya nyusul.” Dan dengan segera kami yang masih adik kelas langsung pergi duluan dengan Bunda Ibi, sedangkan Kakak kelas, Pak Wendi, dan Pak Ahmad akan menyusul tapi tidak dengan Pak Ari karena dia memiliki urusan dan harus segera pergi.
Sesampainya kami di sana, kami langsung memesan apa yang kami inginkan, semuanya memesan mie ayam bakso hmm… tapi tidak dengan aku dan Bunda Ibi. Hanya kami berdua yang memesan bakso kosong. Sambil menunggu pesanan, kami sesekali bercerita dan mengobrol tentang banyak hal, salah satunya… pertunjukan yang akan kami lakukan di bulan November nanti. Tawa pun kian lama semakin membahana apalagi setelah datangnya pesanan kami semua.
“tahun depan nanti kita ikutin semua perlombannya jangan hanya teater sama puisi. Ica, Ita, sama Ani nanti kapan-kapan kita latihan monolog, harus kita biasain mulai dari sekarang ya” ucap Bunda Ibi di sela-sela kunyahannya.
“tahun depan nanti kita ikutin semua perlombannya jangan hanya teater sama puisi. Ica, Ita, sama Ani nanti kapan-kapan kita latihan monolog, harus kita biasain mulai dari sekarang ya” ucap Bunda Ibi di sela-sela kunyahannya.
Kami semua tertawa-tawa dengan riang dengan sesekali saling ejek-ejekan. Hingga sampai Kak Widi menyinggung tentang suatu hal di diriku.
“cobalah Intan, buatlah cerpen dari inspirasi makan bakso” sambil tertawa-tawa cekikikan, namun malah membuat Bunda Ibi jadi tersadar akan suatu hal.
“oh iya ya, Intan kenapa gak ikut lomba cerpen? Kan Intan suka nulis. Aduh… sayang kali itu.”
“cobalah Intan, buatlah cerpen dari inspirasi makan bakso” sambil tertawa-tawa cekikikan, namun malah membuat Bunda Ibi jadi tersadar akan suatu hal.
“oh iya ya, Intan kenapa gak ikut lomba cerpen? Kan Intan suka nulis. Aduh… sayang kali itu.”
“iya bun… rencananya tahun depan aja ikutnya, biar nanti belajar-belajar lagi sam Pak Wendi pas kelas dua” aku sambil mengelap keringat dan ingus yang menetes dan meler. Bunda pun membalasnya dengan anggukan kepala lalu kembali lagi menikmati baksonya. Tak lama kemudian Pak Ahmad, Pak Wendi, dan Kakak kelas yang lainnya datang menyusul dan langsung memesan makanan mereka. Dan semuanya kembali hingar bingar, aku merasa seakan-akan warung bakso itu milik kami.
Ketika hampir semua sudah selesai makan, aku yang sedang iseng mengobrak-abrik mangkok bakso tiba-tiba saja mendapatkan pencerahan.
“bun… Intan udah dapat pencerahan nih buat cerpen tahun depan!” dengan euforia aku mengatakannya dan berhasil membuat semuanya menoleh padaku. Bunda Ibi pun memasang ekspresi penasaranya.
“Bakso Melupakan Segalanya!”
“bun… Intan udah dapat pencerahan nih buat cerpen tahun depan!” dengan euforia aku mengatakannya dan berhasil membuat semuanya menoleh padaku. Bunda Ibi pun memasang ekspresi penasaranya.
“Bakso Melupakan Segalanya!”
“loh kenapa gitu? Maksudnya apa.” Aku pun tersenyum-senyum lalu berkata.
“gara-gara kita makan bakso, kita jadi lupa akan segala kejadian yang barusan aja kita alami tadi dan sekarang kita malah jadi ketawa-ketawa tanpa batas kayak gini” aku nyengir-nyengir penuh percaya diri dan disambut dengan tawa dan senyuman Kakak kelas, Pak Ahmad, Pak Wendi, Bunda Ibi dan juga teman-teman yang lainnya. Aku senang akan hari ini, walaupun barusan saja mengalami kejadian yang tak mengenakkan namun kebersamaan seperti inilah yang menjadikan sesuatu yang tak mengenakkan itu menjadi terasa amat manis.
“gara-gara kita makan bakso, kita jadi lupa akan segala kejadian yang barusan aja kita alami tadi dan sekarang kita malah jadi ketawa-ketawa tanpa batas kayak gini” aku nyengir-nyengir penuh percaya diri dan disambut dengan tawa dan senyuman Kakak kelas, Pak Ahmad, Pak Wendi, Bunda Ibi dan juga teman-teman yang lainnya. Aku senang akan hari ini, walaupun barusan saja mengalami kejadian yang tak mengenakkan namun kebersamaan seperti inilah yang menjadikan sesuatu yang tak mengenakkan itu menjadi terasa amat manis.
TAMAT
Sign up here with your email
ConversionConversion EmoticonEmoticon