Bakso Cinta Untuk Kunti
by : Melly Lestari
Gang sempit yang terdapat di desa Sataunasa itu terlihat begitu sepi, sunyi, sekaligus angker. Banyak warga yang merasakan kejanggalan ketika melewati gang yang terkenal angker itu. Misalnya bulu roma tiba-tiba berdiri ngacrak dengan sendirinya alias merinding. Hawa panas dingin pun merasuk menelusup membelai tubuh, hingga suara-suara aneh yang kadang terdengar, yang berasal dari gang yang terkenal dengan sebutan gang Akibu itu. Menurut cerita warga desa Sataunasa, dahulu kala gang itu mulanya adalah sebuah bangunan rumah yang mewah. Namun para penghuni rumah itu dibunuh oleh perampok. Rumah itu pun menjadi rumah yang mengerikan, darah pembunuhan berada di mana-mana. Dan yang lebih naasnya lagi, semua penghuni rumah itu meninggal tanpa ada yang tersisa.
Lima belas tahun yang lalu, keluarga yang penuh dengan kebahagiaan itu sedang berada di ujung tanduk. Sebab pada malam harinya perampokan itu terjadi. Rumah itu dihuni oleh sepasang suami istri dan satu anak perempuan yang sudah berumur dua pulun tahun. Keluarga itu adalah keluarga yang harmonis. Anak perempuan yang bernama Kiki itu sedang merasakan duka yang mendalam, sebab calon suaminya yang telah merencanakan bahwa besok adalah hari pernikahan mereka itu telah meninggal dibunuh oleh pembegal jalan sebulan yang lalu. Hatinya benar-benar sedih. Ia teringat kejadian pembegalan itu, ketika ia mengajaknya untuk makan bakso di warung langganannya yang terletak di ujung desa.
Ia melihat dengan mata kepalanya sendiri bahwa calon suaminya dibunuh, ditusuk dengan pisau, dan motornya dirampok. Kiki berhasil lari dan meminta bantuan warga untuk menolong Kikan, calon suaminya yang saat itu telah terbujur kaku bersimbah darah. Ia menangis sejadi jadinya ketika mengetahui bahwa Kikan telah meninggal, detak jantungnya sudah tidak terdengar lagi. Dukanya pun mendalam, harapan pernikahan yang hanya tinggal sebulan harus kandas. Gaun yang sudah dipesan, tanggal yang sudah ditentukan harus dibatalkan semua, karena Kikan, calon suaminya kini telah tiada.
Hari-harinya kian suram, ia tidak mau lagi makan bakso setelah kejadian itu. Bakso cinta itu akan mengingatkannya tentang Kikan yang sering mentraktirnya untuk makan makanan kesukaan Kiki tersebut. Ia menjadi benci dengan bakso. Bencii!
Malam itu rumah terasa lengang, jam satu malam para perampok yang berjumlah lima orang itu telah berhasil mencongkel kunci pintu masuk bagian belakang rumah Kiki. Suasana rumah begitu sepi. Dua perampok masuk ke kamar Kiki. Kiki pun terbangun dan terkejut. Namun belum sempat ia teriak, satu perampok telah menimpuk wajah Kiki dengan bantal, dan menusuk perutnya. Darah Kiki pun mengalir deras, ia meninggal saat itu juga. Sedangkan tiga perampok lainnya memasuki kamar bapak dan ibu Kiki. Mereka pun segera menghabisi keduanya dengan menusuk perut mereka masing-masing. Duka … lara … nestapa kini benar menimpa keluarga ini. Para perampok segera menjarah semua harta, emas, uang, dan berbagai barang elektronik yang mereka bawa berbondong-bondong. Mereka puas! Pada pukul tiga pagi, semua aksi mereka telah usai. Di rumah itu kini tiada tersisa lagi barang yang berharga, kecuali beberapa lukisan dan foto-foto keluarga kiki yang masih menempel di dinding rumah.
Pada pagi harinya, kasus perampokan dan pembunuhan itu belum terungkap, belum ada yang mengetahui. Hingga pada tiga hari kemudian, tersiarlah kabar bahwa rumah itu telah dirampok, dan semua penghuninya telah dibunuh. Mereka mengetahuinya dari seorang tukang sampah yang mengangkut sampah di depan rumah, ia melihat darah yang tercecer di depan rumah mewah itu. hingga akhirnya warga Desa Sataunasa berbondong-bondong datang kerumah mewah itu. Mereka menemukan jasad Kiki, ayah dan juga ibunya telah terbujur kaku dengan tusukan dibagian perut mereka. Ngeri!
Para warga dengan sigap segera menguburkan mereka di area pemakaman desa Sataunasa. Hingga seiring perkembangan zaman, pemerintah menghancurkan rumah yang sudah tidak berpenghuni itu menjadi sebuah gang yang menghubungkan desa Sataunasa dengan Desa Ambirasaka, gang itu tekenal dengan sebutan gang Akibu.
Namun kematian Kiki dan keluarganya itu memang adalah sebuah takdir yang tidak bisa dirubah lagi. Arwah Kiki pun menangis mengitari rumahnya yang kini sudah hancur, ia menjadi gentayangan, begitupun kedua orang tuanya. Ia berniat ingin balas dendam dengan membunuh para perampok itu. Kiki pun menangis. Ia sedih, setiap hari ia selalu menangis di rumahnya yang kini telah berubah menjadi sebuah gang bernama Akibu. Ia masih belum tenang sebelum ia bisa membunuh para perampok itu.
Tiba-tiba ada seorang pemuda yang lewat di gang Akibu itu, Kiki memperhatikannya, ia berniat ingin menggodanya.
“Mas, Mas … mau kemana?” tanya Kiki yang telah menjelma menjadi seorang perempuan cantik.
Pemuda itu pun terkejut ketika mendapati seorang wanita cantik berdiri tepat di belakangnya,
“Sssa-saya mau ke masjid depan, Mbak!” ucapnya terbata, kaget!
“Ngapain ke masjid segala sih, Mas?” tanya Kiki manja.
“Saya mau sholat, Mbak! Lha Mbak ngapain di sini kok tidak sholat sih? Agama Mbak apa?” tanya Lelaki itu beruntun, ia sama sekali tidak menyadari bahwa ia sekarang sedang berbicara dengan seorang wanita yang sudah meninggal lima belas tahun yang lalu.
“Saya tidak suka sholat! Saya tidak punya agama! Ihihihihihiiiiii….” Kiki pun berubah wujud menjadi sesosok kuntilanak yang khas dengan gaya tertawanya.
Pemuda yang bernama Luqman ini terkejut, kaget, shock! Tanpa basa-basi ia lari terpirit-pirit hingga sarung yang ia kenakan terlepas dengan sendirinya, namun untungnya ia masih memakai celana panjang, ia pun memegang sarungnya erat-erat dan ia gunakan untuk menutupi kepalanya, persis seperi wanita berhijab. Ia lari dengan sangat kencang seperti angin puting beliung. Tanpa sadar ia terkentut-kentut dan wudlunya batal, ia tidak peduli. Yang Luqman pikirkan adalah bagaimana caranya agar ia bisa cepat sampai masjid. Sesekali Luqman menoleh kebelakang dan melihat kuntilanak berbaju putih yang telah berubah warna menjadi coklat itu terus tertawa melihatnya. Iya, Kiki memang tidak pernah mencuci bajunya, terhitung sejak ia meninggal lima belas tahun lalu. Bisa dibayangkan kan? Bagaimana warna baju putihnya sekarang?
“Ihihihihihiiii, ihihihihihiiiiii….!” tawa Kiki terdengar begitu serem bagi Luqman. Ia masih lari terpirit-pirit meski sesekali kakinya tersandung batu di jalan yang belum halus itu. Sedangkan Kiki kini merasa puas telah menggoda manusia itu. ia bertekad untuk menggoda siapapun yang akan pergi ke masjid itu, masjid Al-Falah. Yang terletak tak jauh dari gang tempat ia berdiam, Gang Akibu.
Pada malam hari selanjutnya, lewatlah dua anak kecil di gang Akibu. Mereka terlihat begitu bersemangat untuk mengaji di masjid Al-Falah. Sepanjang perjalanan, mereka terlihat bermain-main dengan riangnya. Kiki pun ingin mengerjai mereka. Disaat anak-anak itu sedang berjalan ceria, Kiki langsung menampakkan sosoknya di depan mereka.
Srrrrkkkkk! Kiki berdiri tepat di depan anak-anak kecil itu. anak-anak yang bernama Doni dan Dion itu terperangah kaget, takut, tak percaya, bingung, ingin lari.
“Ihihihihihiiii … ihihihihiiii….” Tawa Kiki menyeringai, wajahnya pun tampak begitu menyeramkan bagi Doni dan Dion.
“Kun-kun-kuntilanaaaaak!! Emaaakkkkk! Ada kuntilanak jeleg kayak Mak Lampirrr Makk! Bahkan lebih jelekkkk lagiiii, kayak comberan, Makkkk!” ucap Dion sambil tutup mata, ia tak bisa melangkahkan kakinya untuk lari, semua terasa kaku.
“Emaaakkkkkk! Tolong Doni Makk??? Pak Ustadz … tolong Doniii! Ada kuntilanak jelek di depan kamii … hihihiiii….” Ucap Doni sembari menangis, ia memejamkan mata tak berani menatap wajah Kuntilanak yang berdiri di hadapannya itu. Dan tanpa sadar celananya kini sudah basah, ia ngompol! Seketika ia menunduk kebawah memeriksa celananya.
Dion yang saat itu masih memejamkan mata berfikir, ia teringat dengan nasehat sang Ustadz, bahwa Setan itu akan takut dengan Al-Qur’an. Namun ia tidak membawa Al-Qur’an. Yang ia bawa hanyalah iqro’ jilid 4. Kemudian tanpa ragu Dion menimpuk wajah kuntilanak di depannya itu dengan Iqro’ jilid 4 nya.
“Kena kau! Dasar kuntilanak jeleggg!!” ucap Dion penuh semangat.
“Ihihihihiii … ihihihihiiii….” Tidak mempan! Kuntilanak itu tidak takut, bahkan ia semakin keras tertawa. Dan tak berselang lama, kedua anak itu pun pingsan ditempat. Kiki yang melihatnya kini malah bingung! Ia menepuk-nepuk pipi Dion dan Doni.
“Bangun … hey, bangun!” mereka tetap tidak bangun. Kiki pun kebingungan, ia mencoba menggoyang-goyangkan tubuh Dion dan Doni. Ia merasa bahwa kini tangannya basah.
“Ihh … bau apaan ini? Pesing….!” Ucap Kiki sembari mencium bau di tangannya setelah ia menyentuh celana Doni.
“Ah dasar, kamu ngompol yaa! Bangun ….! Hey bangun!”
Kiki kebingungan. Ia mencoba mencari bantuan. Ia pun terbang kesana kemari di desa Sataunasa. Hingga pada akhirnya ia bertemu seorang penguasa pohon beringin yang terletak di ujung desa. Penguasa itu adalah seorang Genderuwo.
“Pak Gederuwo! Aku minta bantuanmu!” ucap Kiki pada Genderuwo bermata merah itu. Genderuwo itu pun menoleh dan melihat ke arah Kiki.
“Kiki … kau?” tanya Genderuwo itu, ia mengenali Kiki. Yah, Genderuwo itu adalah Kikan, yang meninggal sebulan lebih cepat dari kematian Kiki lima belas tahun yang lalu.
Kiki belum mengenali Kikan, kemudian Kikan merubah wujudnya menjadi Kikan yang dulu, dengan baju yang ia kenakan saat ia dibunuh pembegal.
“Mass-Mas Kikan?” ucap Kiki tidak percaya, ia melihat Kikan berdiri tepat di hadapannya.
“Iya Kiki, ini Mas Kikan! Kau … kau sudah me-meninggal?” tanya Kikan terbata, haru.
“Ii-iya Mas! Kiki meninggal lima belas tahun yang lalu, rumah Kiki dirampok. Bapak dan ibu Kiki, semuanya dibunuh, termasuk Kiki juga.” Kiki menangis.
Kikan yang melihat Kiki menangis ikut bersedih,
“Sudahlah Kiki … semua takdir ini telah terjadi.”
“Iya, Mas! Kiki sudah berusaha menerima semuanya, toh kini akhirnya Kiki bisa bertemu Mas Kikan di sini. Kiki rindu, Mas! Rindu sekali denganmu.” Ucap Kiki menunduk.
“Iya, Kiki! Mas juga sangat merindukanmu. Siang malam Mas selalu berharap agar bisa bersamamu lagi. bahkan setiap warung bakso cinta itu dibuka, Mas selalu teringat denganmu!” ucap Kikan sembari memandangi warung bakso yang terlihat begitu ramai di seberang jalan itu.
“Mas, ternyata kau tidak berubah, kau masih seperti dahulu. Kau adalah laki-laki paling romantis, yang mampu membuat hatiku melayang-layang. Ihihihihiiii….” Jawab Kiki girang dengan tawa khasnya.
“Tentu lah! Engkau juga masih cantik seperti dahulu. Bahkan rambutmu kini terurai semakin panjang. Busanamu juga selalu menutup aurat, Mas suka denganmu!” ucap Kikan menyanjung Kiki. Kiki pun girang, ia terus tertawa.
“Ihihihihiiii….”
Tiba-tiba Kiki teringat nasib dua anak kecil yang tadi pingsan karena ditinggalkannya. Kemudian Kiki segera menjelaskan masalahnya itu pada Kikan. Kemudian mereka bersama-sama menuju gang Akibu untuk menyadarkan kedua anak itu. mereka terbang menggunakan pelepah daun pisang, mereka menaikinya bersama-sama. Udara malam ini semakin membuat suasana mereka begitu romantis.
Luqman yang baru pulang dari masjid Al-Falah tanpa sengaja memandang bulan dilangit, dan ia melihat pelepah daun pisang terbang.
“Pakkkk! Pak Ustadddzzz … lihat itu, Pak!” ucap Luqman terbata memanggil sang Ustadz sembari menunjuk langit.
“Astaghfirullahal ‘adziim! Makhluk apa yang berada di balik pelepah itu! Bismillahirrahmanirrahim….” Ucap Ustadz Ghofur sembari melanjutkan kembali bacaan Ayat kursinya.
Di udara, Kiki dan Kikan merasakan suatu masalah, tubuh mereka seperti ingin hancur, semua terasa panas. Mereka lalu memutuskan untuk kembali ke pohon beringin di ujung desa. Pelepah daun pisangnya pun jatuh tepat di depan masjid Al-Falah.
“Apaan itu, Pak?” tanya Luqman pada Ustadz Ghofur.
“Sudahlah, Nak! Tidak apa-apa. Kamu pulanglah. Hati-hati ya, Nak!”
“Baiklah, Pak!” ucap Luqman sembari berlalu dan pulang. Ia masih teringat kejadian kemarin malam saat ia bertemu kuntilanak di gang Akibu yang akan ia lewati ini. Harap-harap cemas, sepanjang perjalanan Luqman terus membaca ayat kursi yang sengaja ia hafalkan. Namun setelah sampai di gang Akibu, Luqman terkaget-kaget mendapati Doni dan Dion yang tak lain adalah murid ngajinya pingsan.
“Doni … Dion….?” teriak Luqman sembari menggoyang-goyangkan tubuh Doni dan Dion. Dan tanpa berfikir panjang, Luqman menggendong kedua anak itu untuk pulang, satu dibelakang dan satu di depan. Meski repot, meski susah, meski Luqman sadar kini badannya terkena ompolan dari salah satu anak yang ia gendong. Baunya pesing menyengat. Luqman bernafas lewat mulut untuk menghindari bau pesing yang sangat menyengat itu.
Sedangkan di pohon beringin itu, Kiki merasa kesakitan, tubuhnya terasa panas.
“Kamu harus bertahan, Ki! Aku ingin kita menikah. Aku ingin menjadi suamimu!” ucap Genderuwo itu yang tak lain adalah Kikan.
Kiki pun tersenyum mendengar Kikan mengucapkan kata-kata itu kembali seperti saat lima belas tahun yang lalu sambil menahan rasa sakit dan panas tubuhnya.
“Aku mau, Mas! Aku mau menikah denganmu!” ucap Kiki.
“Baiklah, malam ini kita akan menikah!” ucap Kikan mantap. Ia pun memanggil teman-temannya untuk menjadi saksi pernikahannya bersama Kiki. Ada pocong, suster ngesot, wewe gombel, siluman, dan berbagai jenis setan yang masih gentayangan. Mereka berubah wujud menjadi manusia. Lalu bersama-sama mereka semua menyerbu warung bakso yang terletak di seberang jalan pohon beringin. Tentu saja penjualnya sangat kegirangan melihat pengunjung yang begitu banyak, apalagi ini sudah larut malam.
“Bakso cinta ya, Pak? 30 mangkuk. Pedass. Kuahnya merah. Kasih saos yang buanyakk!” ucap Kikan sembari mencubit pipi Kiki yang kini telah ia jadikan istrinya.
“Baik, Mas!” ucap penjual bakso tanpa merasa curiga. Ia pun meracik bakso dengan sangat senang, setelah semua bakso siap, penjual bakso itu terperangah kaget ketika melihat ke belakang, bahwa semua pelanggannya kini adalah setan, hantu, gendruwo, pocong, dengan wajah yang sangat mengerikan. Tanpa berkata sepatah kata pun, penjual bakso itu pun pingsan ditempat.
Malam itu para setan merayakan pernikahan Kuntilanak dan Genderuwo penghuni pohon beringin itu dengan sangat riang.
“Kiki … mungkin kita tidak menikah di alam dunia, tapi kita menikah di dunia lain, dengan cinta yang sama, dengan makanan yang masih menjadi kesukaanmu! Bakso cinta….!” ucap Kikan begitu romantis.
“Iya, Mas! Bakso cinta ini selalu mengingatkanku pada hidungmu ini!” ucap Kiki sembari tertawa, “ihihihihiiiiii….!”
“Kok hidungku? Ada apa dengan hidungku?” tanya Kikan sembari memegangi hidungnya.
“Iya, hidungmu pesek! Hihihihihiiii….!”
Mereka tertawa bersama, suasana riuh dan gaduh. Kehidupan mereka di dunia lain begitu harmonis. Sedangkan kedua anak yang pingsan itu kini telah siuman. Warga desa Sataunasa kembali gempar tentang keangkeran gang Akibu. Mereka memanggil Ustadz untuk membersihkan gang itu, dan Kiki yang menjadi penghuni gang itu kini telah menetap di pohon beringin bersama suaminya, Kikan.
“Aku masih seperti yang duluuu, mencintamu sampai akhir hidupkuuu!”
Nyanyian Kiki terdengar merdu meski ia sedang melahap bakso cinta. Hasil rampokan si Genderuwo sebagai bukti cintanya untuk Kiki, seorang Kuntilanak yang telah menjadi istrinya.
Ihihihihiiiii….
Sign up here with your email

ConversionConversion EmoticonEmoticon