Seribu Kertas Burung Bangau


Cerpen Karangan: 
Lolos moderasi pada: 26 November 2015



“Emang buat siapa sih? Kakak yang latihan PMR di lapangan Volly itu ya? ciye.. ciye.. ayo ngaku deh! gue udah tahu kok,”Hari ini sudah menghasilkan 23 buah kertas burung bangau. Kalau dihitung-hitung sama hasil yang kemarin-kemarinnya sih? Horree.. ada 90 buah. Berarti harus bikin 910 buah burung bangau lagi nih kalau mau nyampai angka seribu. What?! 910 buah?! nggak salah ngitung nih?!
“Cinta itu perlu pengorbanan tiw! Hahaha..” ledek Wayan.
“Resek lo! sobat sendiri kok digituin! bantu kek biar cepet selesai!” gerutuku sambil mengambil secarik kertas origami berwarna biru di depan Wayan.
“Hahaha.. wajah lo jadi tomat tuh!” aku melirik Wayan yang menunjuk-nunjuk wajahku. Dengan cepat aku menangkis jari telunjuknya yang jelek itu.
“Sok tahu!” jawabku dengan mimik wajah jutek buat-buatan. Memang selama ini aku merahasiakan sesuatu padanya, kalau aku suka sama seniornya ekskul PMR di sekolah. Tapi aku takut Wayan marah karena terakhir cerita cintaku endingnya jelek banget. Jadi setiap aku suka sama cowok lain, Wayan biasanya protektif banget sama aku. Bukannya dia nggak suka kalau aku jadi cewek normal, tapi dia nggak mau lihat aku nangis sampai seember gara-gara masalah cowok.
“Woii.. kok ngelamun?” tepukan Wayan yang mendarat di bahuku mampu mengusir para setan pengundang lamunan di dalam diriku.
“Tiw?”
“Apa?”
“Jutek banget sih?” kata Wayan sambil mencubit pipiku.
“Aww..” rintihnya karena aku cubit balik tangannya.
“Kan gue nggak beneran nyubit pipi lo tiw, lah kok lo beneran sih nyubitnya?” protes Wayan.
“Udahlah yan, gue udah tahu kok. Lo pasti mau bilang kalau gue harus hati-hati milih cowok. Iya kan?” akhirnya ia mulai gelagapan dengan tingkah lakunya.
Enam bulan kemudian. Dua jam aku nunggu Wayan di koridor sekolah, sembari menenteng seribu kertas burung bangau yang ku tata rapi pada beberapa helai benang.
“Sepuluh menit lagi tuh anak nggak nongol juga, gue tinggal duluan aja!” cerocosku sendiri, tapi kalau aku lihat seribu kertas bangau ini, rasanya rasa beteku seratus persen hilang sekejap. Aku nggak bisa bayangin gimana ekspresinya Rendy nerima hadiahku ini. Aku juga mau ngomong sebelum aku pacaran sama dia aku udah mulai dulu bikin ini semua.
Udah jam 09.30, sebentar lagi acara wisuda kelas tiga dimulai 30 menit lagi. Lima kali Wayan di-SMS tapi nggak dibales. Tiga kali ditelepon tapi nggak diangkat. Apa sih maunya?! apa gara-gara aku pacaran sama Rendy dia jadi marah? apa jangan-jangan dia cemburu? Ah, nggak mungkin! sebagai sahabat yang baik Wayan harus turut seneng dong kalau aku lagi seneng. Penantian selama satu tahun membuahkan hasil, yang akhirnya senior PMR yang ku taksir itu resmi jadi pacarku. Yuuhuu.. ulala.. waktunya juga tepat banget, pas Rendy nembak aku, kertas bangaunya sudah genap seribu buah. Sipp! jodoh banget! Hehehe.
“Makasih ya, kamu udah mau dateng,” kata Rendy sambil mengelus rambut sebahuku yang tergerai rapi. Tak lama kemudian, Rendy merogoh hp di dalam kantong jaketnya. Raut wajahnya berubah 360 derajat menjadi cemas setelah menerima telepon tersebut.
“A-ada apa Ren?” kini nada suaraku juga berubah menjadi cemas.
“Adikku masuk rumah sakit dan secepatnya harus dioperasi,” tanpa sadar Rendy menggaet tanganku dan mengajakku ke rumah sakit. Aku memang belum tahu kalau dia punya Adik, maklumlah umur jadian kita masih jalan tiga hari. Jadi sepenuhnya aku nggak tahu tentang seluk beluk Rendy.
Ternyata selama ini Adiknya Rendy adalah Wayan dan Rendy adalah Kakaknya Wayan. Mereka berdua saudara tiri, Ibu Rendy menikah dengan Ayah Wayan yang berasal dari Bali. Pantas saja, perbedaannya beda banget dari nama mereka berdua. Rendy dan Wayan.. beda banget. Wayan kecelakaan ketika ia hendak menyeberang jalan. Kata dokter yang menanganinya, kedua kaki Wayan lumpuh permanen. Saat itu juga aku menangis sejadi-jadinya.
Satu bulan di sekolah nggak ada Wayan sepi rasanya. Setiap hari ke kantin mesti sendiri, meskipun aku juga punya temen-temen yang lain, tapi kalau nggak ada Wayan rasanya
bagaikan pakai sepatu yang nggak ada kaos kakinya. Kok sampai ke sepatu sama kaos kaki sih? Hehehe.
“Drrtt.. drrtt.. drrtt..” aku merogoh hp-ku di kantong seragam. Ternyata SMS dari Wayan. Alhamdulillah.. dia masih ingat aku rupanya.
“Ting.. tong..” aku menekan bel rumah Wayan. Percuma aja aku berharap kalau yang bukain pintu itu Rendy, soalnya sekarang dia sekolah di luar kota. Paling-paling yang bukain pintunya ya bi Nini, pembantunya Wayan.
“Oalah.. non Tiwi toh, silahkan masuk non,” ya kan, bener dugaanku pasti bi Nini yang bukain pintunya.
“Saya panggilkan den Wayan dulu ya?” beberapa langkah bi Nini meninggalkanku, ia bergegas menemuiku lagi sambil menepuk jidatnya.
“Oh iya, saya lupa. Ada pesen dari den Wayan, kalau non Tiwi disuruh ke taman belakang,” aku pergi ke taman belakang, melihat Wayan tersenyum di kursi rodanya. Entah ada apa, saat ini aku melihat Wayan keren banget pakai hem lengan panjang berwarna putih dengan kombinasi abu-abu.
“Wayan!” aku berlari ke arahnya dan memeluk Wayan. “Aku kaangeen.. banget sama lo yan.. lama nggak ketemu lo,”
“Ciye-ciye.. so sweet banget sih nih anak. Kangen sama gue apa sama Kakak gue?” goda Wayan.
“Loh.. loh.. kok dilepas meluknya? peluk lagi dong?” aku memanyunkan wajah. “Hahaha.. bercanda Tiw,”
“Gue punya sesuatu buat lo yan, tapi sesuatunya ada di mobil gue, gue ambil dulu ya?” seketika Wayan menarik tanganku, sehingga tubuhku membungkuk 90 derajat dari posisi semula.
“Cup,” Wayan mencium keningku.
“Ciuman persahabatan,” aku tercengang, loading masih melayang-layang di otakku.
Setelah mengambil sesuatu untuk Wayan di mobil, aku menyembunyikan sesuatu di balik punggungku.
“Kayak Syahrini aja pakai sesuatu-sesuatu segala,” kata Wayan.
“Yee.. gue kan bukan Syahrini, tapi Syahtiwi,”
“Oh.. kapan selametan nama barunya?” ini nih, yang buat lama, Wayan sukanya pembicaraan nggak penting dibuat panjang.
“Ah, lupain deh!” Wayan tertawa terbahak-bahak.
“Tarraa.. ini seribu kertas burung bangau buat Wayan tercinteh..”
“T-tapi ini kan buat Rendy tiw?”
“Iya, awalnya ini buat Rendy, tapi sekarang gue pingin aja lo yang punya,” jawabku.
“Makasih ya Tiw, tapi ngomong-ngomong pipi lo kenapa? kok banyak pasirnya?” tanya Wayan sambil menunjuk pipiku. “Sini gue mau ngomong sama lo,” belum aku ngejawab, dia udah ngomong duluan.
“Mankanya kalau jalan itu hati-hati. Toh, gue nggak bakal kemana-mana kok.” Lalu ia membersihkan pasir di pipiku. Wayan memelukku, air mataku meluncur juga di pipi.
“Coba lo tahu perasaan gue ke lo,” Mulutku terkunci dan membiarkan Wayan menyelesaikan curcolnya. “Pasti lo bakal nolak gue, karena lo lebih suka sama Rendy,” agak lama, dia melanjutkan tausiyahnya.
“Sebenernya gue dari dulu suka sama lo, lama banget. Tapi gue sadar diri, karena cinta itu nggak harus memiliki. Seperti cinta gue ke lo Tiw.” Selama ini aku memang bodoh! buat apa aku cari cinta jauh-jauh ternyata cinta itu sudah ada di depan mataku sendiri.
“Tapi tenang aja, sekarang gue cinta lo sebagai sahabat kok. Gue janji bakalan ngejaga lo, walau gue cacat.” Kata-kata Wayan membuat aku terharu. Entah kenapa baru kali ini aku merasakan cinta di luar kedua orangtua dan pacar. Cinta yang tulus dan tumbuh dari seorang sahabat yang selama ini ada buat aku. I love you Wayan.. you are my best friend forever.
Previous
Next Post »