Hari Bahagia Menghantarkan Kepergiannya
Betapa senang hati Mia. Libur panjang telah tiba. Sudah satu tahun dia tinggal di Samarinda demi menuntut ilmu, Mia ikhlas menjalani hidup jauh dari orangtua. Mia teringat pesan Mamak dan Abahnya dulu sewaktu mengantarkan kepergiannya. Kata-kata itu tengiang selalu di telinganya.“Mak, Insya Allah besok Mia akan pulang. Mamak mau Mia bawakan apa dari Samarinda?” Tanya Mia dengan lembut kepada Mamaknya lewat telepon.
“Alhamdulillah Mia pulang. Mamak tidak minta apa-apa yang lebih selain mengharap kepulangan Mia.” Suara Mamak terdengar sedih bercampur senang di seberang sana.
“Mamak Mia kangen. Mamak jaga kesehatan ya di sana. Tunggu kedatangan Mia. Assalamualaikum..”
“Walaikumsalam..” tut… tut… tut… telepon pun berakhir.
“Alhamdulillah Mia pulang. Mamak tidak minta apa-apa yang lebih selain mengharap kepulangan Mia.” Suara Mamak terdengar sedih bercampur senang di seberang sana.
“Mamak Mia kangen. Mamak jaga kesehatan ya di sana. Tunggu kedatangan Mia. Assalamualaikum..”
“Walaikumsalam..” tut… tut… tut… telepon pun berakhir.
“Mia, jaga dirimu baik-baik di sana. Mamak dan Abah akan selalu mendoakanmu agar kamu bisa menjadi anak yang sukses. Abah berharap jika suatu saat kesuksesan telah menghampirimu, tolong jangan lupakan orangtuamu ini Nak.” Ucap Abah dengan nada lirih.
“Mia, anak Mamak yang saleha, tolong jangan lupakan salat. Jaga dirimu baik-baik Nak. Jangan ikuti pergaulan anak kota yang bebas itu. Mia simpan ini baik-baik. Hanya ini yang bisa Mamak dan Abah berikan untukmu Nak.” Mamak menyodorkan sebuah mushaf Al-Quran berukuran mini yang telah kusam warnanya serta gumpalan kain yang Mia tahu di dalamnya adalah uang tabungan Mamak.
“Mia, anak Mamak yang saleha, tolong jangan lupakan salat. Jaga dirimu baik-baik Nak. Jangan ikuti pergaulan anak kota yang bebas itu. Mia simpan ini baik-baik. Hanya ini yang bisa Mamak dan Abah berikan untukmu Nak.” Mamak menyodorkan sebuah mushaf Al-Quran berukuran mini yang telah kusam warnanya serta gumpalan kain yang Mia tahu di dalamnya adalah uang tabungan Mamak.
Bulir-bulir mutiara bening itu satu per satu berjatuhan di pipinya. Rasa rindu yang telah lama terpendam semakin menjadi-jadi ketika pesan Mamak dan Abahnya teringat kembali. Mia terbaring di sebuah kasur berukuran mini. Ditatapnya langit-langit kamar. Terbanyang pula wajah dua orangtua yang sagat dirindukannya itu. Mia mencoba memejamkan matanya merasakan kesunyian malam dan hembusan angin yang menyelinap masuk lewat jendela kamar asrama. Angin bertiup begitu riuh di luar sana. Namun yang Mia rasakan hanya kerinduan yang mendalam. Angin yang menggelitik tubuh sekan tak dirasakannya. Mia acuhkan semua itu dalam keheningan malam yang semakin membuatnya terlelap.
Embun pagi datang dengan lembut menyentuh segala daun-daun yang bergantungan di pohon serta padang rumput yang terhampar di halaman asrama. Mia telah menyiapkan segala perlengkapan pulang sejak tadi malam sebelum menelepon Mamaknya. Mia mengingat-ingat lagi barang apa yang sekiranya belum dimasukkannya ke dalam tas ransel berukuran sedang. Diliriknya jam dinding berbentuk love pada dinding kamar. “Masih jam 7″ Ucapnya.
“Naik apa pulang ke kampung Ya?” Tanya Niken teman sekamarnya di asrama.
“Kalau dijelaskan secara detail pastinya sangat banyak transportasi yang akan aku naiki. Intinya aku cari angkot dulu dari sini yang bisa mengantarkan aku ke terminal bus di Sungai Kunjang.”
“Naik apa pulang ke kampung Ya?” Tanya Niken teman sekamarnya di asrama.
“Kalau dijelaskan secara detail pastinya sangat banyak transportasi yang akan aku naiki. Intinya aku cari angkot dulu dari sini yang bisa mengantarkan aku ke terminal bus di Sungai Kunjang.”
“Lalu setelah itu?”
“Naik bus menuju Kota Bangun. Lalu mencari transportasi air. Kalau murah aku naik Speedboard atau Longboard agar bisa menyeberangi sungai mahakam sampai ke pelabuhan. Nah kalau sudah di daerah hulu sungai Mahakam. Aku tinggal cari ojeg kalau mau lewat darat atau naik ketinting lewat sungai kecil.”
“Panjang juga perjalannya. Kamu hati-hati ya?”
“Iya kamu jangan sedih gitu dong. Ntar kan kita ketemu lagi. Mumpung libur panjang sebulanan gini aja aku bisa pulang.”
“Naik bus menuju Kota Bangun. Lalu mencari transportasi air. Kalau murah aku naik Speedboard atau Longboard agar bisa menyeberangi sungai mahakam sampai ke pelabuhan. Nah kalau sudah di daerah hulu sungai Mahakam. Aku tinggal cari ojeg kalau mau lewat darat atau naik ketinting lewat sungai kecil.”
“Panjang juga perjalannya. Kamu hati-hati ya?”
“Iya kamu jangan sedih gitu dong. Ntar kan kita ketemu lagi. Mumpung libur panjang sebulanan gini aja aku bisa pulang.”
Mia mencubit pipi Niken yang terbilang tembem itu. Keduanya lalu berpelukan dengan penuh rasa kasih. Niken mengantarkan Mia sampai di depan pintu asrama. Air matanya mulai mengalir. Niken begitu manja dengan Mia karena selama di asrama, Mialah yang selalu menemaninya tidur. Mialah yang selalu mengajarinya memasak dan banyak hal yang Mia lakukan untuk Niken apalagi mereka berdua adalah sama-sama penghuni baru di asrama Putri Kukar. Lama dan semakin lama yang tampak hanya punggung Mia. Sekali-kali ia menoleh dan melambaikan tangan pada Niken yang sedang bersedih.
Turun dari angkot, Mia langsung naik bus yang akan membawanya ke Kota Bangun. Cuaca memang mendung hingga gerimis pun datang. Mia duduk bersandar sesantai mungkin. Jemarinya yang lentik berman-main di kaca bus. Menulis apapun yang ingin ia tulis. Sesekali dihapusnya lalu ditulisnya ulang. Walau tulisan itu tidak terlalu nampak.
“Rumahnya di Kota Bangun Dik?” Sapa seorang wanita muda yang duduk di sampingnya. Usianya mungkin tidak jauh berbeda dengan Mia.
“Bukan. Saya mau ke Hambau.” Balas Mia dengan suara datar.
“Hambau? Daerah mana itu? Maaf loh Dik, saya orang Balikpapan jadi tidak tahu nama-nama daerah di sini. Saya baru tiga kali ke sini. Dan yang saya tahu hanya Kota Bangun.” Wanita itu tersenyum malu.
“tidak apa-apa Mbak. Hambau itu daerah pedalaman di hulu sungai Mahakam. Daerahnya masih sangat asri. Masih banyak pohon-pohonnya.”
“Rumahnya di Kota Bangun Dik?” Sapa seorang wanita muda yang duduk di sampingnya. Usianya mungkin tidak jauh berbeda dengan Mia.
“Bukan. Saya mau ke Hambau.” Balas Mia dengan suara datar.
“Hambau? Daerah mana itu? Maaf loh Dik, saya orang Balikpapan jadi tidak tahu nama-nama daerah di sini. Saya baru tiga kali ke sini. Dan yang saya tahu hanya Kota Bangun.” Wanita itu tersenyum malu.
“tidak apa-apa Mbak. Hambau itu daerah pedalaman di hulu sungai Mahakam. Daerahnya masih sangat asri. Masih banyak pohon-pohonnya.”
Bus yang mereka tumpangi berjalan begitu cepat. Tak beberapa lama Mia sampai di Kota Bangun lalu meneruskan perjalanan dengan LongBoard. Hari semakin sore. Mentari yang tadi nampak tinggi, kini seakan telah terjatuh. Cahayanya mulai redup. Sembilan jam perjalanan membuat Mia begitu lelah. Namun kelelahan itu seakan sirna ketika seorang wanita paruh baya berdiri menyambut kedatangannya. Mia berlari menghampiri wanita itu dan langsung memeluknya.
“Mamak, Mia kangen sama Mamak.
“Iya Mamak juga kangen sama Mia. Mia nggak kangen Abah?
“Mia juga kangen Abah. Di mana Abah Mak? Kenapa Abah tidak menyambut kedatangan Mia?”
“Abah masih mencari ikan dengan Adikmu Rima. Sebentar lagi mereka akan pulang. Ayo kita masuk dulu.”
“Mak ini hadiah buat Mamak. Mia beli dari hasil tabungan Mia sendiri loh selama satu tahun ini.” Mia menyodorkan sebuah mukena berwarna putih.
“Alhmdulillah… Sekarang Mia mandi dan siap-siap. Kita akan salat berjamaah setelah itu makan malam bersama.”
“Iya Mamak juga kangen sama Mia. Mia nggak kangen Abah?
“Mia juga kangen Abah. Di mana Abah Mak? Kenapa Abah tidak menyambut kedatangan Mia?”
“Abah masih mencari ikan dengan Adikmu Rima. Sebentar lagi mereka akan pulang. Ayo kita masuk dulu.”
“Mak ini hadiah buat Mamak. Mia beli dari hasil tabungan Mia sendiri loh selama satu tahun ini.” Mia menyodorkan sebuah mukena berwarna putih.
“Alhmdulillah… Sekarang Mia mandi dan siap-siap. Kita akan salat berjamaah setelah itu makan malam bersama.”
Di sebuah ruangan kecil, terhampar empat buah sajadah di hadapan masing-masing pemiliknya. Abah sedang asik berzikir dengan menggeleng-gelengkan kepalanya ke sana kemari. Rima, gadis kecil berumur 5 tahun sedang asyik menggulung-gulung sajadah kecil miliknya. Mia tersenyum melihat ulah Adik kecilnya itu. Usai berzikir, Abah memimpin doa dan kami mendengarkan doa itu dengan seksama lalu mengaminkannya. Setelah melaksanakan ibadah salat magrib, Mia dan Mamak langsung beranjak menuju dapur. Mempersiapkan makanan yang akan mereka makan malam ini. Abah dan Rima ikut menyusul ke dapur.
“Malam ini kita akan makan ikan bakar.” Abah memulai pembicaraan di sebuah lingkaran kecil dengan hamparan makanan di tengah-tengah mereka. Itulah budaya orang di hulu sungai Mahakam. Kalau makan tidak perlu menggunakan meja makan. Asal ada sepetak kain sebagai alas untuk menaruh makanan, maka makanan pun siap untuk dinikmati.
“Itu ikan Rima Abah. Rima yang mendapatkannya tadi sore waktu menjala dengan Abah.” Rima mengambil potongan ikan lalu menyembunyikanya di belakang badan mungilnya.
“Iya sayang. Ikan kita semua. Kan ikannya terjerat di jala Abah. Tapi Rima yang menangkapnya. Kita harus berbagi Nak. Ayo keluarkan ikannya biar kita makan sama-sama. Rima nggak kasihan sama kak Mia yang udah lama nggak makan ikan hasil jalaan Abah dan Rima.”
“Tapi tulangnya jangan dimakan ya. Itu untuk si Manis kucing kesayangan Rima.”
“Itu ikan Rima Abah. Rima yang mendapatkannya tadi sore waktu menjala dengan Abah.” Rima mengambil potongan ikan lalu menyembunyikanya di belakang badan mungilnya.
“Iya sayang. Ikan kita semua. Kan ikannya terjerat di jala Abah. Tapi Rima yang menangkapnya. Kita harus berbagi Nak. Ayo keluarkan ikannya biar kita makan sama-sama. Rima nggak kasihan sama kak Mia yang udah lama nggak makan ikan hasil jalaan Abah dan Rima.”
“Tapi tulangnya jangan dimakan ya. Itu untuk si Manis kucing kesayangan Rima.”
Mia dan Mamak tersenyum melihat tingkah Rima. Makan malam terasa indah dengan ulah lucu gadis kecil itu. Mia rindu saat-saat seperti ini. Makan bersama dan tertawa bersama. Mia berharap semoga kebersaam ini akan selalu ada. Kini malam kian larut. Rima dan Abah telah tertidur pulas di tempat tidur masing-masing. Namun Mamak masih bersimpuh di hadapan kekasih sejati melaksanakan Qiyamul Lail demi kecintaannya pada Sang Pemberi Cinta. Mamak berdoa khusuk sekali hingga air matanya tumpah membasahi mukena baru yang Mia belikan. Mia menghampiri dan memeluk Mamak dari belakang.
“Mamak kenapa?” Bisik Mia pelan.
“Mia anakku sayang. Kenapa belum tidur? Mamak tidak kenapa-kenapa kok.”
“Kenapa Mamak menangis? Apa ada masalah Mak?”
“Setiap usai salat, Mamak selalu berdoa agar Mia sehat-sehat saja dan semoga Allah selalu menjagamu. Mamak berdoa agar Mia cepat pulang dan berkumpul lagi di sini.”
“Mamak kan tahu Mia di Samarinda sedang menunut ilmu. Kalau ada libur panjang seperti ini Mia pasti akan pulang Mak.”
“Mia anakku sayang. Kenapa belum tidur? Mamak tidak kenapa-kenapa kok.”
“Kenapa Mamak menangis? Apa ada masalah Mak?”
“Setiap usai salat, Mamak selalu berdoa agar Mia sehat-sehat saja dan semoga Allah selalu menjagamu. Mamak berdoa agar Mia cepat pulang dan berkumpul lagi di sini.”
“Mamak kan tahu Mia di Samarinda sedang menunut ilmu. Kalau ada libur panjang seperti ini Mia pasti akan pulang Mak.”
“Mia sayang sama Mamak?” Mamak bertanya dengan mimik wajah serius. Wajahnya yang begitu teduh membuat Mia ingin meneteskan air mata.
“Uhibbuki Fillah Ya Ummi. Mia sangat sayang sama Mamak.
“Mia sayang. Ada kalanya kita harus kehilangan sesuatu yang sangat kita sayangi. Biasa Allah menguji kita dengan hal yang kita cintai. Misalnya saja buku kesukaan kita suatu hari hilang. Dan kita harus ikhlas menerimanya.”
“Maksud Mamak apa sih? Sungguh Mia bingung tak mengerti.”
“Uhibbuki Fillah Ya Ummi. Mia sangat sayang sama Mamak.
“Mia sayang. Ada kalanya kita harus kehilangan sesuatu yang sangat kita sayangi. Biasa Allah menguji kita dengan hal yang kita cintai. Misalnya saja buku kesukaan kita suatu hari hilang. Dan kita harus ikhlas menerimanya.”
“Maksud Mamak apa sih? Sungguh Mia bingung tak mengerti.”
“Mia semua yang kita miliki ini hanyalah titipan dari Allah. Semuanya milik Allah. Ibarat tukang parkir, tugas kita menjaga mobil agar lalu ketika pemiliknya mengambil kembali barang titipannya, tukang parkir itu tidak marah kan? Mamak hanya ingin memberikan satu pengertian kepada Mia. Bahwa Mia harus ikhlas kalau suatu saat Mia kehilangan sesuatu yang sangat Mia sayangi. Jika Mia kuat, maka Mia termasuk orang-orang terpilih. Sekarang sudah larut malam Nak. Ayo cepat tidur. Mia harus mempersiapkan diri unutk aktivitas baru esok hari”
Kata-kata Mamak masih terngiang-ngiang di telinganya. Mia mencoba mengartikan kata demi kata. Namun semakin lama dia tidak bisa mengartikan semua kata-kata yang terangkai indah itu. Ketika memandangi langit-langit kamar, terbayang pula wajah Mamak yang mengembangkan senyumnya. Entah Mia begitu resah malam ini. Rasa rindunya masih menyelinap di lubuk hati meski telah bertemu. Mia beranjak dari kamarnya lalu mendatangi kamar Mamak. Dilihatnya wajah wanita setengah baya itu tengah asyik tertidur pulas. Ingin rasanya Mia memeluknya lagi dan tidur bersamanya malam ini. Namun niat itu diurungkannya dan hanya sebuah kecupan hangat yang Mia layangkan pada kening Mamak. Takut Mamak akan terbangun, Mia cepat-cepat melangkah pergi kembali ke kamar tidurnya.
Pukul 04.55. Mia terbangun karena suara adzan yang terdengar nyaring dari rumahnya. Mia tahu itu suara Abah. Biasanya Abah memang salat di masjid kalau subuh. Mia menghampiri Mamak yang masih tertidur pulas. Tidak tega rasanya jika harus membangunkannya. Mia lagi-lagi hanya melayangkan kecupan hangat pada kening Mamak dia berlalu meninggalkan kamar itu dan segera melaksanakan salat subuh. Kicauan burung saling bersahutan. Suasana di desa memang sangat asri. Pagi-pagi yang kita hirup adalah udara segar. Tidak seperti di kota, yang kita hirup merupakan udara kotor. Rembulan yang begitu terang kini semakin lama semakin menghilang di telan cahaya matahari. Walaupun matahari masih malu-malu menampakkan wajah cerianya.
Pagi-pagi buta tadi, Abah telah pergi beranjak dari rumah menuju desa sebelah. Abah sudah lama bekerja sebagai buruh bangunan demi menafkahi keluarga. Kadang Mia merasa iba dan ingin berhenti saja dari kuliahnya. Namun Mia tidak ingin mengecewakan orangtuanya yang telah menaruh harapan yang begitu dalam. Mereka ingin Mia bisa menjadi Sarjana.
“Mamak sudah salat?” bisik Mia dengan lembut. Namun tidak ada jawaban. Mia mencoba bertanya lagi.
“Mamak sakit kah? Mia belikan obat ya?” Namun hasilnya tetap sama. Mia hanya mendengar sebuah suara kecil sebagai isyarat. Hati Mia mulai gundah. Mia berulang kali memeriksa badan Mamaknya. Tidak terasa panas. Suhu badannya sama saja seperti biasa. Namun kenapa Mamak belum terbangun juga.
“Ya Allah apa yang terjadi dengan Mamak. Tolong berikan petunjukmu Ya Allah. Sungguh hamba bingung. Apa yang harus hamba lakukan?” Mia berdoa dalam hati kecilnya.
“Mamak sudah salat?” bisik Mia dengan lembut. Namun tidak ada jawaban. Mia mencoba bertanya lagi.
“Mamak sakit kah? Mia belikan obat ya?” Namun hasilnya tetap sama. Mia hanya mendengar sebuah suara kecil sebagai isyarat. Hati Mia mulai gundah. Mia berulang kali memeriksa badan Mamaknya. Tidak terasa panas. Suhu badannya sama saja seperti biasa. Namun kenapa Mamak belum terbangun juga.
“Ya Allah apa yang terjadi dengan Mamak. Tolong berikan petunjukmu Ya Allah. Sungguh hamba bingung. Apa yang harus hamba lakukan?” Mia berdoa dalam hati kecilnya.
Tak kuasa lagi menahan kegundahannya, Mia menumpahkan air matanya sederas mungkin. Diguncang-guncangnya tubuh Mamak yang masih tertidur itu namun tetap saja Mamak tidak terbangun. Dirasanya tubuh itu semakin lama semakin dingin. Mia benar-benar tidak tahu harus berbuat apa.
“Kak, Mamak kok belum bangun?” Ya Allah sungguh menyayat hatiku ketika mulut kecil Rima ikut bertanya tentang keadaan Mamak. Mia tidak bisa menjawab pertanyaan itu. Dipeluknya tubuh yang mulai mendingin.
“Mamak tolong bangun. Apa yang telah terjadi? Mia sayang Mamak. Tolong jangan buat Mia resah Mak.”
Mia teringat kembali percakapannya tadi malam dengan Mamak.
“Kak, Mamak kok belum bangun?” Ya Allah sungguh menyayat hatiku ketika mulut kecil Rima ikut bertanya tentang keadaan Mamak. Mia tidak bisa menjawab pertanyaan itu. Dipeluknya tubuh yang mulai mendingin.
“Mamak tolong bangun. Apa yang telah terjadi? Mia sayang Mamak. Tolong jangan buat Mia resah Mak.”
Mia teringat kembali percakapannya tadi malam dengan Mamak.
“Mia semua yang kita miliki ini hanyalah titipan dari Allah. Semuanya milik Allah. Ibarat tukang parkir, tugas kita menjaga mobil agar lalu ketika pemiliknya mengambil kembali barang titipannya, tukang parkir itu tidak marah kan? Mamak hanya ingin memberikan satu pengertian kepada Mia. Bahwa Mia harus ikhlas kalau suatu saat Mia kehilangan sesuatu yang sangat Mia sayangi. Jika Mia kuat, maka Mia termasuk orang-orang terpilih”
Tubuh itu kini telah terbujur kaku. Mia baru menyadari arti kata-kata Mamak tadi malam. “Kenapa Allah begitu cepat memanggil Mamak. Mia nggak sanggup menerima ini. Mia belum mampu. Mamak tolong bangun.” Sekuat apapun tubuh itu tergoncangkan, sederas apapun air mata yang Mia keluarkan, Mamak tidak akan mungkin terbangun kembali. Kini Mamak telah pergi kembali kepada yang telah menciptakannya. Batin Mia menjerit pilu.
“Kenapa Ya Allah Kau ambil Mamak di saat seperti ini. Kenapa tak Kau biarkan aku bersama Mamak lebih lama lagi. Baru saja aku bahagia bertemu Mamak namun kini aku sungguh menangis pilu ketika aku menyadari bahwa kebahagiaanku ini telah engkau gariskan sebagai pengantar kepergiannya. Ya Allah jika ini yang terbaik untuk kami, berilah keikhlasan pada kami. Terimalah Mamak dan tempatkan dia di sisimu.
“Uhibbuki Fillah Ya Ummi. Mia sangat menyayangi Mamak. Mia akan ingat selalu pesan Mamak. Mia akan menjadi anak saleha, Mia tidak akan meninggalkan salat, dan Mia akan terus berjuang agar menjadi seorang sarjana seperti yang Mamak dan Abah harapkan.”
“Uhibbuki Fillah Ya Ummi. Mia sangat menyayangi Mamak. Mia akan ingat selalu pesan Mamak. Mia akan menjadi anak saleha, Mia tidak akan meninggalkan salat, dan Mia akan terus berjuang agar menjadi seorang sarjana seperti yang Mamak dan Abah harapkan.”
Di atas ranjang berukuran sedang, Mia memeluk Mamak dengan isak tangis yang tiada henti. Tubuh itu kini tak lagi bisa menghangatkannya. Mata itu tak lagi bisa memandangnya. Dan mulut itu kini tak lagi bisa memberikan nasihat-nasihat berharga padanya. Tangan itu tak lagi bisa membalas dekapan hangat Mia. Tubuh itu kini tak mampu bergerak seperti dulu untuk selamanya.
Cerpen Karangan: Rosita Az’zahra Altafunnisa
Blog: Rositaarmah.blogspot.com
Facebook: Rosita Az’zahra Altafunnisa
Rosita Armah lahir di hulu sungai mahakam, tanggal 12 Oktober 1993 merupakan anak pertama dari pasangan suami istri Ariansyah dan Halimah (alm). Kini aktif sebagai mahasiswi semester 4 jurusan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya di Universitas Mulawarman. Hobinya membaca dan menulis. Untuk mengenalnya hubungi Facebook: Rosita Az’zahra Altafunnisa.
Blog: Rositaarmah.blogspot.com
Facebook: Rosita Az’zahra Altafunnisa
Rosita Armah lahir di hulu sungai mahakam, tanggal 12 Oktober 1993 merupakan anak pertama dari pasangan suami istri Ariansyah dan Halimah (alm). Kini aktif sebagai mahasiswi semester 4 jurusan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya di Universitas Mulawarman. Hobinya membaca dan menulis. Untuk mengenalnya hubungi Facebook: Rosita Az’zahra Altafunnisa.
Sign up here with your email

ConversionConversion EmoticonEmoticon