Calon Imam Ku
Dengan sedikit malas aku bergegas mandi dan siap-siap untuk langsung pergi ke toko buku tempat biasa aku dan Riska membeli buku. Riska adalah temanku waktu kuliah, kami lumayan akrab sampai kami selesai kuliah pun masih akrab, masih sering bertemu, jalan bersama. Sesampai di toko buku itu, tempat aku dan Riska janjian. Aku melihat Riska sudah menungguku di depan toko, namun tampaknya dia gak sendirian, di sampingnya ada seorang laki-laki yang tampak akrab mengobrol dengan Riska.Kring.. kring.. hp-ku berdering.
“Riska.” nama yang tampil di layar hp-ku, aku langsung mengangkatnya.
“Hallo.. Assalamualaikum..”
“Waalaikumsalam.. hai Fan, lagi ngapain?” tanyanya.
“emm.. lagi baca-baca buku aja hehe tumben Riska, ada apa?” tanyaku balik.
“hh gak ada apa-apa, kalau gak lagi sibuk temenin aku ke toko buku yuk..” ajaknya.
“insya Alloh, tunggu aku 30 menit lagi yah..” pintaku.
“oke aku tunggu di depan toko tempat biasa yah. Assalamualaikum.”
“waalaikumsalam..” jawabku.
“Riska.” nama yang tampil di layar hp-ku, aku langsung mengangkatnya.
“Hallo.. Assalamualaikum..”
“Waalaikumsalam.. hai Fan, lagi ngapain?” tanyanya.
“emm.. lagi baca-baca buku aja hehe tumben Riska, ada apa?” tanyaku balik.
“hh gak ada apa-apa, kalau gak lagi sibuk temenin aku ke toko buku yuk..” ajaknya.
“insya Alloh, tunggu aku 30 menit lagi yah..” pintaku.
“oke aku tunggu di depan toko tempat biasa yah. Assalamualaikum.”
“waalaikumsalam..” jawabku.
“Assalamualaikum..” sapaku.
“waalaikumsalam..” jawab mereka serempak.
“maaf yah udah menungguku lama.”
“Gak kok fan kita juga baru sampai.” jawab Riska.
“hehe..”
“oh ya fan.. kenalin ini sepupuku Fadhil..”
Fadhil tersenyum sambil menelungkupkan kedua tangan di dada. Aku pun membalas senyum dan ikut menelungkupkan kedua tanganku di dada.
“Ya udah kita masuk yuk, cari buku dulu.” ajak Riska.
“waalaikumsalam..” jawab mereka serempak.
“maaf yah udah menungguku lama.”
“Gak kok fan kita juga baru sampai.” jawab Riska.
“hehe..”
“oh ya fan.. kenalin ini sepupuku Fadhil..”
Fadhil tersenyum sambil menelungkupkan kedua tangan di dada. Aku pun membalas senyum dan ikut menelungkupkan kedua tanganku di dada.
“Ya udah kita masuk yuk, cari buku dulu.” ajak Riska.
Setelah lama mencari-cari buku, akhirnya kita menemukan buku yang dicari Riska.
“Udah dapat bukunya, kita makan dulu yuk. Lapeerr.. hehe.” ajak Riska sambil senyum-senyum megangin perutnya.
Aku dan Fadhil cuma mengangguk. Kami pun bergegas ke luar dan jalan menuju Rumah Makan samping toko buku. Sambil menunggu pesanan aku dan Riska asyik mengobrol, sementara Fadhil hanya mendengarkan, ia lebih banyak diam. Akhirnya pesanan datang suasana menjadi hening, kami bertiga terdiam menikmati menu makanannya. Selesai makan kami pun langsung beranjak pulang.
“Udah dapat bukunya, kita makan dulu yuk. Lapeerr.. hehe.” ajak Riska sambil senyum-senyum megangin perutnya.
Aku dan Fadhil cuma mengangguk. Kami pun bergegas ke luar dan jalan menuju Rumah Makan samping toko buku. Sambil menunggu pesanan aku dan Riska asyik mengobrol, sementara Fadhil hanya mendengarkan, ia lebih banyak diam. Akhirnya pesanan datang suasana menjadi hening, kami bertiga terdiam menikmati menu makanannya. Selesai makan kami pun langsung beranjak pulang.
Pukul 15.30 aku sampai di rumah, aku pun langsung mandi terus salat. Selesai salat aku merebahkan badan istirahat sejenak sambil menunggu adzan maghrib. Tapi entah kenapa tiba-tiba aku teringat Fadhil, bayang-bayangnya menghiasi alam bawah sadarku, sejak pertama kali aku berkenalan dengannya aku seemakin mengagumi sosok Fadhil. Subhanalloh dia sangat menjaga kesuciannya, saat Riska mengenalkannya padaku dia tak mau bersalaman denganku. Tut, tut, hp-ku berdering. Astaghfirulloh.. suara hp membangunkan lamunanku. Aku mengambilnya. Ada sms dari Riska.
“fann.. maaf yah aku sengaja mengajakmu jalan dengan Fadhil. Karena dia ingin bertaaruf denganmu.. gimana? aku tunggu jawabanmu yah?”
Subhanalloh.. ternyata dia juga memilki perasaan yang sama denganku.
“fann.. maaf yah aku sengaja mengajakmu jalan dengan Fadhil. Karena dia ingin bertaaruf denganmu.. gimana? aku tunggu jawabanmu yah?”
Subhanalloh.. ternyata dia juga memilki perasaan yang sama denganku.
“Allohu akbar, Allohu akbar..” Suara adzan berkumandang, umat muslim berbondong-bondong menuju musala untuk memenuhi panggilan Allah, menunaikan salat maghrib berjamaah.
Aku dan keluarga pun pergi ke musala dekat rumahku untuk berjamaah salat maghrib. Sepulang jamaah aku langsung masuk kamar, namun langkahku terhenti saat di depan pintu kamarku, karena Ayah memanggilku.
Aku dan keluarga pun pergi ke musala dekat rumahku untuk berjamaah salat maghrib. Sepulang jamaah aku langsung masuk kamar, namun langkahku terhenti saat di depan pintu kamarku, karena Ayah memanggilku.
“Nduk.. sini dulu, duduk dekat Ayah, Ayah dan Ibu mau berbicara denganmu.” pintanya.
Aku pun kembali dan duduk di samping Ayah dan Ibu.
“mau berbicara apa yah? kok sepertinya serius?” tanyaku.
Ayah hanya tersenyum dan mulai membuka pembicaraannya.
“Kemaren ada seorang ikhwan yang datang bersilaturrahmi ke sini, selain itu dia juga menanyakanmu nduk, dia ingin bertaaruf denganmu..”
Dia adalah Azmi, seorang anak sahabat Ayah, dia baru saja menyelesaikan kuliahnya. Dia kuliah sambil mesantren.
Aku pun kembali dan duduk di samping Ayah dan Ibu.
“mau berbicara apa yah? kok sepertinya serius?” tanyaku.
Ayah hanya tersenyum dan mulai membuka pembicaraannya.
“Kemaren ada seorang ikhwan yang datang bersilaturrahmi ke sini, selain itu dia juga menanyakanmu nduk, dia ingin bertaaruf denganmu..”
Dia adalah Azmi, seorang anak sahabat Ayah, dia baru saja menyelesaikan kuliahnya. Dia kuliah sambil mesantren.
Seketika itu pun, tubuhku sangat lemas. Sendi-sendi dalam tulangku serasa lumpuh. Deru jantung berderu sangat kencang tak menentu. Entah bagaimana aku harus menjelaskan pada Ayah dan Ibu tentang pilihan hatiku. Seorang ikhwan yang selalu menjaga kesuciannya. Kemudian Ayah melanjutkan pembicaraannya.
“Ayah tidak pernah memaksamu nduk, namun Ayah dan Ibu berharap kamu menerima permintaannya. Insyaallah dia seorang ikhwan yang baik, seorang muslim yang taat..”
Aku hanya tertunduk diam, ingin rasanya aku menolaknya, namun bibirku kaku.
“Ayah, aku sudah punya pilihan hati.” bisikku dalam hati.
“Ayah tidak pernah memaksamu nduk, namun Ayah dan Ibu berharap kamu menerima permintaannya. Insyaallah dia seorang ikhwan yang baik, seorang muslim yang taat..”
Aku hanya tertunduk diam, ingin rasanya aku menolaknya, namun bibirku kaku.
“Ayah, aku sudah punya pilihan hati.” bisikku dalam hati.
Melihat sorot mata mereka yang penuh harapan, terlebih merasakan kelembutan tangan Ibu yang selalu membelaiku, aku tak mampu melukai hati mereka, aku tak ingin mengecewakannya, sungguh aku tak ingin mematahkan harapan mereka. Melihatku hanya tertunduk diam, Ibu membelaiku dan berkata.
“putriku, Ayah dan Ibu tidak pernah memaksamu untuk menerima semua ini, tapi percayalah karena kasih sayang kami, kami hanya ingin yang terbaik untukmu. Insyaallah dia calon imam yang baik dan bertanggung jawab untukmu. Pikirkan baik-baik ya sayang.”
Aku hanya mengangguk, dan pamit untuk ke kamar menunaikan salat isya.
“putriku, Ayah dan Ibu tidak pernah memaksamu untuk menerima semua ini, tapi percayalah karena kasih sayang kami, kami hanya ingin yang terbaik untukmu. Insyaallah dia calon imam yang baik dan bertanggung jawab untukmu. Pikirkan baik-baik ya sayang.”
Aku hanya mengangguk, dan pamit untuk ke kamar menunaikan salat isya.
Malam sudah mulai sunyi, semua orang sudah terlelap dalam tidurnya. Namun aku belum juga mampu memejamkan mata. Astaghfirulloh, hatiku sungguh dalam kebimbangan. Di saat aku baru mengagumi seorang ikhwan dan ingin memilihnya menjadi imam dalam rumah tanggaku kelak. Orangtuaku justru menjodohkanku dengan laki-laki lain pilihannya. Tak mampu aku menahan gejolak dalam hati, aku pun bergegas untuk salat dan berdoa memohon petunjuk-Nya.
“ya Rabb, hamba titipkan hati ini padaMu, hamba pasrahkan diri ini padaMu, Engkau lebih tahu yang terbaik untuk hamba. Pilihkanlah calon imam yang baik untuk hamba, tetapkanlah hati hamba pada satu cinta untuk calon imam yang akan Engkau pilihkan untuk hamba. Ya Rahim, jika cinta adalah pengorbanan, tumbuhkanlah niat dari semua pengorbananku semata-mata tulus untukMu, agar aku dapat ikhlas menerima apa pun keputusanMu. Aamiin.. Laa Haula Walaa Quwwata Illaa Billahilaliyil ‘adzim..”
Alhamdulillah selesai salat hatiku sudah mulai tenang, aku sudah bisa istirahat, setelah seharian beraktivitas. Semoga besok pagi aku sudah bisa menjawab permintaan Ayah dan Ibu, Allah sudah memantapkan pilihan yang akan aku ambil.
Alhamdulillah selesai salat hatiku sudah mulai tenang, aku sudah bisa istirahat, setelah seharian beraktivitas. Semoga besok pagi aku sudah bisa menjawab permintaan Ayah dan Ibu, Allah sudah memantapkan pilihan yang akan aku ambil.
Pagi begitu cerah. Rumput-rumput, bunga-bunga terbasahi oleh embun pagi. Nyanyian burung-burung yang hinggap di pepohonan imut meramaikan pagi ini. Menjadikan pagi ini lebih terasa indah. Alhamdulillah ya Rabb, masih Kau izinkan hamba menikmati pagi yang cerah ini.
Tok.. tok.. suara pintu kamarku diketuk.
“fan.. kamu lagi sibuk?” suara Ibu dari depan pintu kamarku.
“gak kok bu, Ibu masuk saja.” ucapku.
Tok.. tok.. suara pintu kamarku diketuk.
“fan.. kamu lagi sibuk?” suara Ibu dari depan pintu kamarku.
“gak kok bu, Ibu masuk saja.” ucapku.
Setelah membuka pintu kamarku. Ibu tersenyum dan menghampiriku.
Aku pun ikut tersenyum. “ada apa bu?”
“nggak, Ibu pengen ngobrol sama Fanny, Fanny gak sibuk kan?”
“nggak kok bu, Ibu mau ngobrol apa?”
Sambil membelai lembut rambutku dengan tangan beliau, “fan.. gimana permintaan Ayah sama Ibu yang tadi malem? Fanny sudah punya keputusan kan?” tanya Ibuku sambil tersenyum lembut.
“insyaallah sudah bu.” jawabku.
“ya udah, kalau gitu kita ke luar yuk, Ayah sudah menunggu kita di meja makan. Kita bicarakan keputusanmu sambil sarapan pagi yah..” ajak Ibu.
Aku pun ikut tersenyum. “ada apa bu?”
“nggak, Ibu pengen ngobrol sama Fanny, Fanny gak sibuk kan?”
“nggak kok bu, Ibu mau ngobrol apa?”
Sambil membelai lembut rambutku dengan tangan beliau, “fan.. gimana permintaan Ayah sama Ibu yang tadi malem? Fanny sudah punya keputusan kan?” tanya Ibuku sambil tersenyum lembut.
“insyaallah sudah bu.” jawabku.
“ya udah, kalau gitu kita ke luar yuk, Ayah sudah menunggu kita di meja makan. Kita bicarakan keputusanmu sambil sarapan pagi yah..” ajak Ibu.
Ibu pun ke luar dari kamarku dan aku mengikutinya di belakang. Kami pun langsung duduk. Ayah langsung membuka pembicaraannya.
“Bagaimana nduk, kamu menerima?” tanya Ayah langsung tanpa basa-basi.
Aku mencoba menenangkan diri terlebih dahulu dan menghela napas sejenak. Mencoba tetap tersenyum walau masih terasa berat mengambil keputusan ini. Keputusan yang akan membuat perubahan dalam hidupku.
“Bismillahirrohmanirrohim” ucapku dalam hati sebelum aku menjawab pertanyaan Ayah.
“Ayah, Ibu, jika memang menurut Ayah dan Ibu dia seorang ikhwan yang baik, seorang muslim yang taat, dan bisa menjadi imam yang baik dalam rumah tanggaku kelak. Aku tak mungkin sanggup menolaknya.”
“Bagaimana nduk, kamu menerima?” tanya Ayah langsung tanpa basa-basi.
Aku mencoba menenangkan diri terlebih dahulu dan menghela napas sejenak. Mencoba tetap tersenyum walau masih terasa berat mengambil keputusan ini. Keputusan yang akan membuat perubahan dalam hidupku.
“Bismillahirrohmanirrohim” ucapku dalam hati sebelum aku menjawab pertanyaan Ayah.
“Ayah, Ibu, jika memang menurut Ayah dan Ibu dia seorang ikhwan yang baik, seorang muslim yang taat, dan bisa menjadi imam yang baik dalam rumah tanggaku kelak. Aku tak mungkin sanggup menolaknya.”
“Alhamdulillah.” ucap Ayah dan Ibu serempak.
“ya udah besok Ayah suruh dia bersilaturrahmi ke sini, biar kalian bisa bertaaruf. Kalau cocok langsung tentukan hari pernikahan kalian” ucap Ayah.
Karena aku takut, hatiku akan kembali ragu setelah melihatnya. Biarkan aku melihat wajah calon suamiku nanti setelah akad. Setelah ia halal untukku. Karena itu, aku meminta Ayah mengenalkan aku setelah akad saja.
“ya udah besok Ayah suruh dia bersilaturrahmi ke sini, biar kalian bisa bertaaruf. Kalau cocok langsung tentukan hari pernikahan kalian” ucap Ayah.
Karena aku takut, hatiku akan kembali ragu setelah melihatnya. Biarkan aku melihat wajah calon suamiku nanti setelah akad. Setelah ia halal untukku. Karena itu, aku meminta Ayah mengenalkan aku setelah akad saja.
“emm, Ayah kenalkan aku dengannya, setelah akad nanti” pintaku.
Ayah dan Ibu sedikit kaget dan bingung dengan permintaanku.
“loh kenapa nduk, Ayah nggak mau nanti kamu menyesal menikah dengannya, karena kamu belum melihatnya?” tanya Ayah.
“ya sayang.. masa mau menikah belum pernah melihat wajah calon suaminya?” tambah Ibu.
“emm.. nggak apa-apa, aku percaya pilihan Ayah dan Ibu pasti yang terbaik untukku..” jawabku meyakinkan.
Ayah dan Ibu sedikit kaget dan bingung dengan permintaanku.
“loh kenapa nduk, Ayah nggak mau nanti kamu menyesal menikah dengannya, karena kamu belum melihatnya?” tanya Ayah.
“ya sayang.. masa mau menikah belum pernah melihat wajah calon suaminya?” tambah Ibu.
“emm.. nggak apa-apa, aku percaya pilihan Ayah dan Ibu pasti yang terbaik untukku..” jawabku meyakinkan.
Walaupun awalnya Ayah dan Ibu ragu dengan permintaanku, namun akhirnya mereka pun menyetujui permintaanku.
“ya udah ya sayang, biar Ibu yang mempersiapkan pernikahan kalian, kamu banyak-banyak istirahat saja, jaga kesehatan.” ucap Ibu.
Aku hanya mengangguk dan sedikit tersenyum. Setelah aku selesai menyampaikan keputusanku, aku langsung izin ke kamar.
“ya udah Ayah Ibu, Fanny mau ke kamar dulu..” ucapku berpamitan.
“ya udah ya sayang, biar Ibu yang mempersiapkan pernikahan kalian, kamu banyak-banyak istirahat saja, jaga kesehatan.” ucap Ibu.
Aku hanya mengangguk dan sedikit tersenyum. Setelah aku selesai menyampaikan keputusanku, aku langsung izin ke kamar.
“ya udah Ayah Ibu, Fanny mau ke kamar dulu..” ucapku berpamitan.
Dalam kamar aku terbaring lemah di atas kasur, aku memikirkan keputusan yang sudah aku ambil. Sebenarnya keraguan di hatiku masih terkadang muncul. Bahkan wajah Fadhil masih melintas di anganku. “Ya Rabb.. benarkah keputusan yang sudah aku ambil?” batinku.
Bismillahirrohmanirrohim, Laa Haula Walaa Quwwata Illa Billahil ‘aliyil ‘adzimYa Allah, aku pasrahkan semua ini padaMu ya Allah.
Bismillahirrohmanirrohim, Laa Haula Walaa Quwwata Illa Billahil ‘aliyil ‘adzimYa Allah, aku pasrahkan semua ini padaMu ya Allah.
—
Akhirnya hari pernikahan itu telah tiba, semua tamu sudah mulai berdatangan. Bahkan calon mempelai pengantin putranya pun sudah datang dan sudah duduk di serambi Masjid. Di mana tempat akad pernikahan kami yang kebetulan juga dekat dengan rumahku. Sementara aku masih duduk di depan cermin, menatap gambarku sendiri yang sudah berbalut dengan gaun pengantin berwarna putih cerah, dan dihiasi bunga-bunga kecil berwarna ungu di jilbabku. Aku masih belum percaya pada keputusanku sendiri. Wajah Fadhil masih melintas dalam anganku. Mungkinkah dia akan dia sudah mendengar kabar pernikahanku, dan akan mau menghadiri pernikahanku. Astaghfirulloh.
Terdengar sayup-sayup suara ijab Qobul itu.
“Dengan ini, saya Azmi Fadhil, menikahi Fanny Oktafiani binti Ikbal Hanafi dengan mas kawin seperangkat alat salat.”
Subahanalloh, aku sudah menjadi istri yang belum pernah aku mengenalnya, melihat wajahnya saja aku belum pernah. Tak terasa air mataku mengalir.
“Dengan ini, saya Azmi Fadhil, menikahi Fanny Oktafiani binti Ikbal Hanafi dengan mas kawin seperangkat alat salat.”
Subahanalloh, aku sudah menjadi istri yang belum pernah aku mengenalnya, melihat wajahnya saja aku belum pernah. Tak terasa air mataku mengalir.
Tok..tok. “fan..” suara Ibu dari depan pintu memanggilku.
aku langsung menghapus air mataku.
“iya bu, masuk..”
“hmm.. anak Ibu cantik banget.”
Aku hanya tersenyum.
“akadnya udah selesai, kita ke luar yah, ke masjid temui suamimu, tamu undangan juga sudah menunggumu..” ajak Ibu.
Aku hanya mengangguk. Dengan perasaan tak menentu. Jantung berdetak tak beraturan. Ibu menggenggam tanganku dan menuntunku ke luar menuju masjid. Subhanalloh, tamu undangan semua melihatku.
aku langsung menghapus air mataku.
“iya bu, masuk..”
“hmm.. anak Ibu cantik banget.”
Aku hanya tersenyum.
“akadnya udah selesai, kita ke luar yah, ke masjid temui suamimu, tamu undangan juga sudah menunggumu..” ajak Ibu.
Aku hanya mengangguk. Dengan perasaan tak menentu. Jantung berdetak tak beraturan. Ibu menggenggam tanganku dan menuntunku ke luar menuju masjid. Subhanalloh, tamu undangan semua melihatku.
Setelah sampai di masjid Ayah menjemputku dan menuntunku pada suamiku. Sungguh aku tak mampu menatap wajahnya. Ayah menyuruhku untuk bersalaman dengan suamiku dan mencium tangannya, namun aku belum mampu menatap wajahnya. Lalu suamiku mengangkat daguku dengan lembut. Dengan hati bergetar perlahan aku menatap wajahnya. Subhanalloh, dengan penuh kesyukuran atas kekuasaanMu ya Allah, Engkau telah menjodohkanku dengan seorang ikhwan yang selama ini aku kagumi, dengan seorang ikhwan yang selalu muncul dalam alam bawah sadarku.
Subhanalloh, Ayah telah menjodohkanku dengan Azmi Fadil. Yang ternyata dia anak sahabat Ayahku juga sepupu riska. Laki-laki yang aku harapkan untuk menjadi imamku. Subhanalloh.. rezeki, jodoh, umur memang sudah dituliskan di lauhulmahfudz. Tulang rusuk tak akan pernah tertukar.
Cerpen Karangan: Fatihah Al Fatiha
Sign up here with your email
ConversionConversion EmoticonEmoticon